"Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup di zaman yang berbeda dari zamanmu."
--- Ali bin Abi Thalib
Langkah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim anak-anak yang dianggap nakal ke barak militer menuai sorotan luas. Di satu sisi, ia dipuji sebagai pemimpin tegas yang berani mengambil langkah tak lazim. Namun di sisi lain, kebijakan itu dinilai problematik---baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun efektivitas jangka panjang.
Yang patut dicermati: kebijakan ini bukanlah gagasan baru. Pendekatan serupa sudah pernah diterapkan di beberapa daerah, termasuk Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi. Hasilnya? Jauh dari harapan.
Bukan Solusi Original, Bukan Juga Solusi Efektif
Mengacu pada laporan Kompas.com (30/5/2025), Eri Cahyadi mengaku kecewa atas hasil program barak yang pernah ia terapkan. Anak-anak kembali berulah tak lama setelah meninggalkan barak. Kebijakan pun diubah, dari pendekatan militeristik menjadi pendekatan berbasis komunitas dan keluarga.
Namun, pelajaran ini tampaknya tak dibaca utuh oleh Gubernur Dedi Mulyadi. Ia justru melanjutkan pendekatan serupa seolah-olah ini merupakan penemuan baru, dan bahkan menjadikannya ikon pendekatan kepemimpinan.
Padahal, solusi terhadap kenakalan remaja sejatinya tidak bisa disederhanakan dalam pola tunggal. Ia memerlukan pendekatan yang multidimensional, bukan satu kebijakan keras yang tampak tegas namun rapuh secara substansi.
Pendekatan Militeristik dan Risikonya
Pendekatan militer dalam dunia pendidikan anak bukan hanya ketinggalan zaman, tapi juga berisiko tinggi. Laporan UNICEF dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2023 menyebut bahwa 63 persen anak yang berperilaku menyimpang berasal dari lingkungan yang mengalami kekerasan fisik atau emosional.
Dengan kata lain, anak yang dianggap "nakal" seringkali adalah korban dari sistem sosial yang cacat. Maka membalasnya dengan kekerasan struktural baru, dalam bentuk barak semi-militer, hanya akan memperpanjang rantai luka.