Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi: Dicintai dan Dibenci, Fenomena Politik yang Sulit Diulang

13 Mei 2025   19:26 Diperbarui: 13 Mei 2025   19:26 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi (The Jakarta Post)


Dari Tukang Kayu ke Istana

Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi, bukan sekadar Presiden. Ia adalah fenomena. Sebuah meteor politik yang melesat dari tempat yang paling tidak diduga---dari lorong-lorong kota Solo, dari bengkel mebel yang penuh serbuk kayu, menuju puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini. Tidak ada yang menyangka. Ia bukan jenderal, bukan anak tokoh besar, bukan pula elite partai. Tapi justru dari "bukan siapa-siapa" itulah daya tariknya muncul.

Banyak yang bertanya: dari mana dia belajar berpolitik? Jawabannya mungkin adalah: dari kehidupan sehari-hari. Dari pasar, dari jalanan, dari rakyat kecil yang sering kali hanya jadi objek janji kampanye.

---

Cara Jokowi: Politik yang Membumi

Ketika politisi lain tampil necis di layar kaca, Jokowi datang dengan kemeja putih digulung dan celana hitam yang tak pernah berubah. Ia blusukan ke gang sempit, menyapa warga, masuk pasar, meninjau proyek dengan ekspresi polos namun tajam.

Kampanyenya bukan tentang pidato besar, melainkan tentang gestur kecil yang punya makna. Pendekatannya bukan elitisme, tapi kerakyatan. Bukan patronase, tapi partisipasi. Basis kekuatannya bukan dari partai, melainkan dari relawan yang rela bergerak tanpa dibayar. Jokowi seperti anti-tesis dari politik Indonesia yang penuh perhitungan.

---

Dicintai Setengah Mati, Dibenci Setengah Mati

Tapi seperti halnya cahaya terang, bayangannya pun kuat. Cinta yang besar sering datang dengan kebencian yang tak kalah keras. Dan begitulah Jokowi: memecah publik dalam dua kutub ekstrem.

Sejak awal masa kampanye hingga kini setelah lengser, dunia media sosial tak pernah sepi dari perdebatan antara pendukung fanatik---yang dijuluki "cebong"---dan para pembencinya, yang sering disebut "kadrun". Julukan yang lahir dari konflik politik, tapi menjalar menjadi simbol identitas sosial baru. Dalam sejarah politik Indonesia modern, mungkin belum pernah ada tokoh yang memicu polarisasi sebesar ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun