Dari Tukang Kayu ke Istana
Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi, bukan sekadar Presiden. Ia adalah fenomena. Sebuah meteor politik yang melesat dari tempat yang paling tidak diduga---dari lorong-lorong kota Solo, dari bengkel mebel yang penuh serbuk kayu, menuju puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini. Tidak ada yang menyangka. Ia bukan jenderal, bukan anak tokoh besar, bukan pula elite partai. Tapi justru dari "bukan siapa-siapa" itulah daya tariknya muncul.
Banyak yang bertanya: dari mana dia belajar berpolitik? Jawabannya mungkin adalah: dari kehidupan sehari-hari. Dari pasar, dari jalanan, dari rakyat kecil yang sering kali hanya jadi objek janji kampanye.
---
Cara Jokowi: Politik yang Membumi
Ketika politisi lain tampil necis di layar kaca, Jokowi datang dengan kemeja putih digulung dan celana hitam yang tak pernah berubah. Ia blusukan ke gang sempit, menyapa warga, masuk pasar, meninjau proyek dengan ekspresi polos namun tajam.
Kampanyenya bukan tentang pidato besar, melainkan tentang gestur kecil yang punya makna. Pendekatannya bukan elitisme, tapi kerakyatan. Bukan patronase, tapi partisipasi. Basis kekuatannya bukan dari partai, melainkan dari relawan yang rela bergerak tanpa dibayar. Jokowi seperti anti-tesis dari politik Indonesia yang penuh perhitungan.
---
Dicintai Setengah Mati, Dibenci Setengah Mati
Tapi seperti halnya cahaya terang, bayangannya pun kuat. Cinta yang besar sering datang dengan kebencian yang tak kalah keras. Dan begitulah Jokowi: memecah publik dalam dua kutub ekstrem.
Sejak awal masa kampanye hingga kini setelah lengser, dunia media sosial tak pernah sepi dari perdebatan antara pendukung fanatik---yang dijuluki "cebong"---dan para pembencinya, yang sering disebut "kadrun". Julukan yang lahir dari konflik politik, tapi menjalar menjadi simbol identitas sosial baru. Dalam sejarah politik Indonesia modern, mungkin belum pernah ada tokoh yang memicu polarisasi sebesar ini.