Isu mengenai pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat ke ruang publik. Meski bukan kali pertama, kali ini gaungnya terdengar lebih kuat. Menteri Kebudayaan Fadli Zon---yang juga Ketua Umum Yayasan Harapan Kita---dalam sebuah pernyataannya mengatakan bahwa "Soeharto sejak dulu sudah layak menjadi Pahlawan Nasional."
Pernyataan ini bukan hanya menimbulkan debat hangat di media sosial, tetapi juga memunculkan luka lama di benak sebagian warga bangsa. Layakkah Soeharto, sosok yang selama 32 tahun memimpin Indonesia dengan tangan besi, diberi penghormatan tertinggi dari negara?
Kriteria Pahlawan Nasional: Bukan Sekadar Jasa
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta Peraturan Presiden No. 33 Tahun 1964, seorang tokoh yang diusulkan menjadi pahlawan nasional harus memenuhi sejumlah kriteria, antara lain:
1. WNI yang telah wafat dan semasa hidupnya telah memimpin, menginspirasi, dan memperjuangkan kemerdekaan serta pembangunan bangsa.
2. Tidak pernah menghianati negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Memiliki integritas moral dan keteladanan yang tinggi.
4. Diakui masyarakat luas atas jasa-jasanya.
Proses pengajuan dilakukan mulai dari tingkat daerah oleh pemerintah provinsi dan diajukan ke Kementerian Sosial. Setelah itu, nama calon akan dikaji oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) dan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), sebelum akhirnya Presiden menetapkan lewat Keppres.
Argumen Pihak Pro: Pembangunan dan Stabilitas
Pihak yang mendukung Soeharto menjadi pahlawan nasional umumnya menyoroti aspek stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi yang diletakkan selama Orde Baru.