Pada 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan hukum yang kembali memantik diskusi publik nasional. Dalam Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya berlaku untuk individu perorangan, bukan lembaga pemerintah, korporasi, maupun kelompok masyarakat tertentu.Dalam pertimbangannya, MK menegaskan:
> "Frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE dimaknai hanya merujuk pada subjek hukum perseorangan, dan tidak termasuk badan hukum publik, korporasi, profesi, institusi negara, ataupun kelompok masyarakat tertentu."
Keputusan ini secara efektif melarang institusi negara, badan publik, partai politik, dan perusahaan untuk menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE guna mengadukan masyarakat yang mengkritik mereka. Sebuah langkah yang oleh banyak pihak dianggap sebagai angin segar dalam perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di era digital.
Dari Jerat Pasal Karet ke Ruang Aman Demokrasi
Sejak pertama kali disahkan pada 2008, UU ITE telah lama dianggap sebagai alat represi terhadap kebebasan berpendapat. Banyak yang menyebutnya sebagai "pasal karet"---karena tafsirnya yang bisa sangat lentur namun efeknya menghantam keras. Tak sedikit aktivis, jurnalis, bahkan masyarakat biasa yang dipidana karena mengekspresikan kritik terhadap pemerintah atau institusi publik melalui media sosial.
Kritik terhadap UU ITE semakin menguat seiring merebaknya laporan-laporan pidana terhadap unggahan yang sebenarnya merupakan bentuk ekspresi pendapat. Perubahan dalam UU No. 1 Tahun 2024 telah mencoba melakukan perbaikan. Namun keberadaan Pasal 27A, yang menyisipkan unsur baru "menyerang kehormatan atau nama baik orang lain", masih dianggap membuka ruang kriminalisasi.
Kini, melalui keputusan MK, ruang tafsir yang sebelumnya begitu luas itu dipersempit. Tidak semua entitas bisa merasa "tersinggung" dan langsung membawa warga ke ranah pidana.
Seperti disampaikan dalam pertimbangan putusan MK:
> "Dalam negara demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, termasuk institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan tersebut."
Paradoks Dunia Digital: Kebaikan dan Ancaman
Digitalisasi komunikasi membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia memungkinkan warga negara menyampaikan opini dan kontrol sosial dengan lebih bebas, cepat, dan luas. Namun di sisi lain, ia juga memunculkan fenomena hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi yang masif.