Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kali ini, OTT terjadi di Bengkulu, dan melibatkan tujuh orang, termasuk Gubernur Bengkulu yang sedang mengikuti Pilkada. "Aku baru dapat laporan dari staf yang membenarkan ada giat penindakan di Bengkulu," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada detikcom, Minggu (24/11/2024).
Gubernur Komisi PemberantasanKasus ini semakin menegaskan betapa korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit kronis. Bahkan, pejabat yang tengah berlaga di Pilkada---ajang untuk mendapatkan kepercayaan publik---berani menggunakan uang haram untuk kepentingan politik.Â
Apa yang sebenarnya membuat koruptor seakan tidak lagi memiliki rasa takut? Bagaimana sistem politik kita turut menyuburkan praktik ini? Dan, yang paling penting, apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk memutus rantai korupsi?
Korupsi dan Biaya Politik yang Fantastis
Salah satu alasan utama di balik banyaknya kasus korupsi yang terkait dengan Pilkada adalah tingginya biaya politik di Indonesia. Menurut penelitian LIPI, biaya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dapat mencapai miliaran hingga ratusan miliar rupiah, tergantung wilayah dan level jabatan. Biaya ini meliputi segala hal mulai dari iklan kampanye, logistik, hingga politik uang.
Bagi kandidat dengan sumber daya terbatas, godaan untuk mencari dana ilegal sangat besar. Tidak jarang, kepala daerah memanfaatkan jabatannya untuk "mengembalikan modal" setelah terpilih, dengan berbagai cara seperti markup proyek, penjualan izin, atau bahkan menerima suap dari pihak swasta.
Kasus Bengkulu: Refleksi Masalah Nasional
Kasus Gubernur Bengkulu ini bukan insiden yang berdiri sendiri. Sejak KPK berdiri pada 2002, ratusan kepala daerah telah terjerat kasus korupsi. Bahkan, data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa antara 2010 dan 2023, lebih dari 300 kepala daerah terlibat dalam kasus hukum, mayoritas terkait korupsi.
Ironisnya, meskipun banyak pejabat tertangkap, praktik ini terus berulang. Mengapa? Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama:
Rendahnya Integritas dan Keteladanan Pemimpin: Banyak kandidat lebih fokus pada cara menang daripada niat melayani. Jabatan publik dipandang sebagai sarana memperkaya diri, bukan melayani masyarakat.
Sistem Pemilu yang Mahal: Pilkada langsung, meski memberikan rakyat suara, membuka peluang terjadinya politik uang. Kandidat sering merasa harus membeli suara, baik melalui bantuan langsung maupun janji-janji material lainnya.