Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Romansa Pengadilan MK, yang Lucu dan yang Saru

20 Juni 2019   16:48 Diperbarui: 20 Juni 2019   17:12 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: beritasatu.com

Sidang sengketa Pilpres di MK disiarkan secara langsung. Tentu acara ini menarik banyak pemirsa, mungkin melebihi pertandingan bola. Betapa tidak, dari pagi sampai subuh di kemudian hari masih ada penonton yang bersedia begadang. 

Apa sih yang menarik dari sidang yang menampilkan para saksi kubu Prabowo ini?

Tentu masing-masing pemirsa mempunyai alasannya masing-masing, dari yang amat sangat serius sampai yang ringan dan yang lucu. 

Untuk alasan serius pasti sudah banyak yang mengupas, namun untuk yang melihat ini sebagai "stand up Comedy" justru menarik untuk dicari alasannya. 

Ya, ada beberapa adegan kesaksian dalam sidang itu yang memang layak dimasukkan ke kategori humor yang membuat penonton tertawa. 

Beberapa cuplikan di bawah ini adalah rekamannya.

Kebelet Pipis di Tengah Krisis
Adegan itu terjadi ketika seorang saksi Idham Amiruddin akan memberikan kesaksiannya. 

Saat hendak ditanya oleh Hakim Sadli Isra, Idham tiba-tiba merunduk. Lalu tertawa kecil sebelum menginterupsi hakim.

"Yang Mulia, mohon maaf saya mau buang air kecil," kata Idham sembari tersenyum menahan malu pada sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/6). (CNN Indonesia)

Bisa dibayangkan reaksi hakim dan peserta sidang mendapat interupsi seperti ini. Ruang sidang seolah  tiba-tiba berubah menjadi ruang kelas TK di mana seorang muridnya angkat tangan karena mau ke belakang.

Pastilah Idham sudah cukup lama menahan panggilan biologis yang tidak bisa ditunda tersebut. Daripada ada yang ngompol di ruang sidang, Hakim MK pun meng skors sidang yang terhormat itu.

Orang Kampung Dilarang Jadi Saksi?
Ini adalah dialog lucu lain yang terjadi ketika Hakim MK bertanya pada salah seorang saksi.

Untuk memastikan peran dan posisi saksi, hakim MK menanyakan tempat tinggal saksi. Karena sebagai saksi, dia melihat, mengalami dan merasakan sendiri dari kesaksian yang akan dia paparkan.

Jawaban atas pertanyaan hakim MK Arief Hidayat adalah, "Saya di kampung pak," jawab Idham Amiruddin.

"Kesaksiannya ini berhubungan dengan apa? Jadi kesaksian ini diberikan karena anda melihat mendengar dan merasaka, itu apa kalau anda di kampung?" tanya Hakim MK Arief Hidayat.

"Kan DPT juga ada di kampung pak," jawab Idham Amiruddin.

"Berarti nanti yang akan anda jelaskan itu DPT di kampung anda?" tanya Hakim MK Arief Hidayat.

"Bukan, seluruh indonesia," jawab Idham Amiruddin

Hakim MK Arief Hidayat pun heran atas jawaban Idham Amiruddin

"Hah? lho gimana?" tanya Arief Hidayat.

Idham Amiruddin mengaku mendapat data DPT dari DPP Gerindra saat berkunjung ke Jakarta.

"Iya saya dapat source atau data file dari DPP Gerindra ketika saya di Jakarta," aku Idham Amiruddin. (Tribunnews.com)

Tentu hakim MK keberatan dengan jawaban ini. Namum dialog itu lalu dipotong oleh ketua  Pengacara Prabowo Bambang Widjojanto. 

BW merasa hakim menekan saksi kuncinya dan beralasan bahwa orang kampung pun saat ini bisa mengakses dunia karena kecanggihan alat komunikasi.

Hakim pun lalu menganggap interupsi ini sebagai gangguan sidang dan BW sempat mau diusir dari ruang sidang. 

Kalau itu benar terjadi maka komedi ini bisa menjadi tragedi.

Saksi Keren Pakai Kacamata Hitam di Malam Hari
Insiden kaca mata hitam ini sempat mewarnai sidang sidang yang melelahkan itu.

Dalam dialognya dengan seorang saksi, Saldi Isra, salah seorang hakim MK berkomentar kepada saksi Rahmadsyah yang mengenakan kacamata hitam.

"Tunggu pak, saya belum selesai. Pak Nasrullah ini sabar banget, tapi begitu saya bertanya tiba-tiba dipotong langsung. Padahal saya punya waktu juga untuk memuji kacamatanya Pak Rahmadsyah ini. Malam-malam begini masih pakai kaca mata hitam, ini kan luar biasa juga ini," kata Saldi sambil tersenyum.

Rahmadsyah juga sempat ditegur Majelis Hakim terkait kacamatanya.

"Itu kacamata saudara kacamata ukuran (minus) atau kacamata hiasan?" tanya Majelis Hakim. ( Tribunnews.com )

Insiden kacamata hitam ini mengingat penulis pada orang-orang pedalaman Kalimantan jaman dulu ketika menyelenggarakan pesta perkawinan. 

Entah mengapa ada kebiasaan kedua mempelai ketika duduk di pelaminan selalu menggunakan kacamata hitam.

Mungkin waktu itu kacamata hitam dipandang sebagai perhiasan istimewa supaya terlihat keren. Juga bisa saja karena umumnya mereka agak malu ditonton oleh orang sekampung, kacamata hitam itu sebagai penutup mata supaya tidak terlihat tersipu malu.

Apakah sang saksi juga mempunyai perasaan yang sama dengan kedua mempelai jaman dahulu itu? Entahlah.

Sang Tahanan Kota Ijin Menemani Orang Tua Nyambi Jadi Saksi
Cuplikan cerita di bawah ini bisa lucu, bisa juga saru. Mengapa? 

Rahmad,  salah seorang saksi yang ditunjuk oleh Tim Hukum Prabowo rupanya punya posisi ganda. Selain sebagai saksi dia juga adalah terdakwa. Dalam hal ini dia mengaku sebagai tahanan kota. 

Ketika ditanya apakah sudah ada ijin karena status hukumnya itu, dia mengatakan sudah memberi tahu pihak kejaksaan. Namun ternyata pemberitahuan Rahmad kepada pihak kejaksaan bukan untuk menjadi saksi di MK.

"Tidak, bukan itu (memberi tahu akan menjadi saksi). Saya (memberi tahu) berangkat ke Jakarta menemani orang tua saya yang sakit, ibu saya," tutur Rahmad. ( Detik com )

Jadi rupanya peran menjadi saksi bisa menjadi kerja sambilan, dalam rangka menemani orang tua sakit, bisa nyambi menjadi saksi.

Sebenarnya melihat hal ini, selain ada unsur lucu mengapa Tim Prabowo tidak tahu, juga ada bagian sarunya, karena ini terindikasi telah melanggar hukum.

Begitulah romansa pengadilan sengketa Pilpres kali ini. Benar-benar bagai panggung sinetron: ada tragedi, pengkhianatan, tapi juga ada yang lucu dan seru.

Walaupun demikian, kita tetap harapkan sidang ini jangan sampai dijadikan permainan, karena hal itu berarti mempertaruhkan harga diri bangsa dan negeri ini. ***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun