Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ratusan Meninggal, Apakah Inisiator Pemilu Serentak Bisa Dituntut?

12 Mei 2019   12:49 Diperbarui: 12 Mei 2019   13:09 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: merdeka.com

Seorangpun tidak mengira Pemilu kali ini membawa duka. Ratusan orang petugas KPPS meninggal dalam menjalankan tugas  mulia mereka sebagai relawan KPPS. 

Berdasarkan investigasi resmi Kemenkes, ada 13 penyakit yang menyebabkan meninggalnya para pahlawan Demokrasi ini. 

Pemicu utama dari kambuhnya penyakit itu adalah kelelahan akibat jam kerja berlebihan pada saat proses penghitungan dan mengawal suara di KPPS. 

Faktor usia juga rupanya mempengaruhi, karena sebagian besar petugas KPPS yang meninggal di usia 50 - 59 tahun.

Hal ini erat hubungannya dengan diberlakukannya pemilihan pileg dan pilpres yang menyebabkan banyak suara, form dan berkas yang harus dikerjakan. 

Lalu muncul pertanyaan, siapa yang salah dalam kasus ini?

Dalam hal ini, penulis tidak mau masuk dalam teori konspirasi dan tuduhan yang tidak berdasar atas kejadian ini.

Ada tulisan lain yang mengupas khusus hal ini. Silahkan baca: 

Rupanya Tidak Ada Konspirasi di Balik Meninggalnya Petugas KPPS

Hal yang jelas menjadi masalah adalah berat dan lamanya kerja akibat digabungnya pileg dan pilpres. Dalam hal ini, apakah inisiator pemilihan serentak dan pengambil keputusan sehingga penggabungan  itu dilaksanakan bisa disalahkan dan dituntut secara hukum?

Kita ketahui bahwa keputusan untuk melakukan Pemilu serentak itu adalah hasil dari judicial review yang diajukan sekelompok orang ke MK. 

Lewat persidangan dan proses yang cukup panjang, akhirnya MK mengabulkan usulan itu karena menurut hakim konstitusi hal tersebut sesuai dengan maksud UUD 45. 

Salah seorang yang mengajukan judicial review tersebut adalah Efendi Gazali. Baru - baru ini dalam acara di Kompas Tv, ketika ditanya apakah dirinya siap diseret di kasus pemilu yang menelan banyak korban, Effendi Ghazali mengaku siap.

"Saya sebagai ilmuwan, diajari Buya Syafi'i Maarif untuk tidak menjadi seorang pengecut," ujarnya.

Tentu dalam hal ini bukan masalah siap tidaknya Dosen UI ini, tapi apakah mereka sebagai inisiator bisa dituntut secara hukum atau tidak? Apakah para inisiator ini layak dituntut tanggung jawabnya atas korban yang jatuh dalam pemilu serentak yang mereka usulkan?

Walaupun penulis bukan ahli hukum, hanya atas pertimbangan logis saja, dapat dikatakan bahwa tentu mereka tidak bisa disalahkan. 

Pada saat mereka mengajukan judicial review atas UU penyelenggaran pemilu, penulis yakin mereka tidak sampai pada pertimbangan bahwa hal itu bisa mengakibatkan korban yang begitu banyak. 

Pastilah pertimbangan mereka lebih pada efektivitas dan efisiensi dari penyelenggaraan pemilu serentak itu.  Juga biaya yang relatif lebih murah dibandingkan apabila dua kali pileg dan pilpres dilakukan terpisah. 

Pertimbangan sama juga yang mengakibatkan Pilkada serentak dilakukan beberapa waktu yang lalu.

Hakim konstitusi dalam hal ini juga pastilah tidak mengira akibat keputusan mereka mengabulkan judicial review pemilu serentak tersebut berakibat begitu banyak yang meninggal. 

Pertimbangan mereka pastilah berdasarkan apakah sesuai atau tidaknya aturan pemilu itu dengan UUD 45 yang menjadi pertimbangan hukum mereka.

Namun walaupun mereka semua tidak bisa disalahkan dan dituntut secara hukum, pastilah kejadian ini harus manjadi pembelajaran berharga dan harus dievaluasi secara komprehensif.

Harus ada perubahan mendasar agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. 

Dalam hal ini, selain pertimbangan efektif, efisien dan biaya, maka faktor manusianya juga harus masuk dalam indikator keputusan. 

Untuk ini ada banyak variasi yang bisa dilakukan.

Mungkin solusi tergampang adalah memisahkan kembali Pileg dan Pilpres seperti sebelumnya. 

Namun  penulis melihat  peluang untuk mempertahankan Pemilu serentak masih ada, tentu dengan beberapa perubahan mendasar.

Jika tetap diadakan  pemilu serentak, pemilihan petugas KPPS harus diperketat. Jika selama ini hanya "siapa yang mau", maka untuk Pemilu serentak berikut, petugas harus punya surat kesehatan agar bisa ikut terlibat. Juga faktor usia harus masuk pertimbangan.

Waktu kerja juga hendaknya dibatasi dengan fasilitas kesehatan yang harus disiapkan sebelumnya. Ada baiknya setiap petugas dilindungi dengan asuransi kesehatan. 

Kemungkinan lain adalah pemakaian teknologi sudah harus diterapkan. Memilih secara digital dan online nampaknya sudah harus masuk dalam pertimbangan serius.

Pasti ada yang mengatakan, bahwa dengan tambahan hal di atas maka biaya Pemilu akan bertambah. Ya, pastilah biaya akan bertambah, namun jelas tidak semahal jika Pemilu dipisah antara pileg dan pilpres.

Hal yang lebih penting, pastilah cara ini akan mengurangi korban jiwa. Dalam hal ini satu nyawa pun sudah terlalu mahal untuk harga yang harus dibayar.***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun