Kisah seorang seniman di Jogyakarta yang ditolak mengontrak di satu dukuh di Kota Pelajar ini karena berbeda agama sungguh menghentak kesadaran kita sebagai bangsa.
Memang ini sebuah kisah hidup dari seseorang. Namun harus diakui, fakta ini, terutama dalam kondisi politik kita saat ini, adalah bagai sebuah gunung es dari suatu persoalan besar bangsa yang beraneka ini.Â
Jika dikumpulkan satu persatu cerita intoleransi dan eksklusivitas kelompok radikal dan perlakuan ketidakadilan pada minoritas, maka sudah semakin banyak cerita yang dapat kita paparkan.
Padahal, Â Indonesia sebagai bangsa, lahir justru karena para bapak bangsa kita sangat yakin dan sudah sepakat bahwa kita memang bangsa yang beraneka. Nilai toleransi, kebersamaan dan saling menghargai adalah fondasi utama bangsa ini.Â
Dalam hal ini falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika bukanlah hanya slogan belaka. Tanpa penghayatan dan pelaksanaan yang nyata pada pandangan hidup ini, negara tercinta ini pasti akan bubar.
Sebenarnya, peristiwa sebuah dukuh membuat peraturan eklusif bahwa mereka hanya mau menerima warga yang satu agama adalah hanya percikan api dari bara sekam yang punya sumber kobaran yang lebih besar.
Mengapa?Â
Sebenarnya Penulis sudah cukup lama menaruh rasa prihatin akan Komplek Pemukiman atau real estate yang dilabeli branding salah satu agama.Â
Walaupun mungkin hal ini adalah strategi marketing, tapi dampaknya akan menjadi bom waktu dikemudian hari.Â
Betapa tidak. Jika Pemukiman - pemukiman eksklusif agama ini semakin banyak, maka pasti bangsa ini akan terkotak-kotak dan pada akhirnya akan terkoyak.