Di sebuah kota yang diselimuti hujan sepanjang tahun, seorang wanita bernama Alana duduk di sebuah kafe kecil, menatap rintik hujan yang menari di jendela. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang mulai mendingin, pikirannya melayang jauh ke masa lalu---ke seseorang yang dulu mengisi hatinya dengan melodi indah namun juga luka yang dalam.
Namanya Reza. Seorang pria dengan sorot mata tajam yang selalu memancarkan gairah hidup. Mereka bertemu di universitas, di sebuah kelas filsafat yang sering berakhir dengan perdebatan panjang di antara mereka. Reza percaya bahwa cinta adalah sebuah keputusan yang harus diperjuangkan, sementara Alana beranggapan bahwa cinta adalah takdir yang tak bisa dipaksakan.
Perbedaan pandangan itu justru yang membuat mereka semakin dekat. Reza selalu datang dengan segudang argumen, mencoba meyakinkan Alana bahwa cinta bukan hanya sekadar perasaan yang mengalir, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dan Alana, meskipun selalu berusaha menyangkal, tak bisa menolak pesona Reza.
Hari demi hari berlalu, dan tanpa sadar mereka jatuh dalam sebuah hubungan yang penuh gairah dan perdebatan. Namun, seperti dua kutub yang bertolak belakang, semakin mereka dekat, semakin mereka menyadari bahwa ada dinding yang tak bisa mereka runtuhkan. Alana takut akan komitmen, sementara Reza ingin segalanya menjadi pasti.
"Kenapa kita harus mendefinisikan sesuatu yang sudah kita rasakan?" tanya Alana suatu malam, saat mereka berjalan di tepi sungai.
"Karena cinta tanpa kepastian adalah omong kosong," jawab Reza, tatapannya penuh ketegasan.
Dan di sanalah, mereka mulai berpisah perlahan. Reza lelah menunggu Alana untuk menerima komitmen, sementara Alana takut jika harus mengikat diri pada sesuatu yang mungkin akan berubah.
Waktu terus berjalan. Alana dan Reza menjalani kehidupan mereka masing-masing, tapi bayangan satu sama lain tak pernah benar-benar pergi. Alana mencoba menjalin hubungan baru, tetapi selalu ada perasaan yang mengganjal di hatinya---seolah ada melodi yang belum selesai dimainkan. Begitu pun dengan Reza, yang meskipun tampak sukses dan bahagia, masih sering terdiam menatap langit malam, mengenang perdebatan-perdebatan mereka yang dulu terasa begitu hidup.
Bertahun-tahun kemudian, Alana duduk di kafe itu, mengenang semua yang telah mereka lalui. Ia tahu bahwa Reza telah pergi, mungkin sudah menemukan seseorang yang bisa menerima keyakinannya. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang masih tertinggal---sebuah melodi yang tak pernah benar-benar selesai.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka. Dan di antara suara hujan yang deras, berdiri seorang pria dengan tatapan yang masih sama. Reza.
Alana membeku. Mereka saling menatap dalam kebisuan, sementara dunia di sekitar mereka terasa membisu. Lalu, dengan senyum kecil, Reza melangkah mendekat dan berkata, "Masih percaya bahwa cinta adalah takdir?"