Mohon tunggu...
Mario F. Cole Putra
Mario F. Cole Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Siapa-siapa

Orang yang Biasa-biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Sosial dari Bahasa Anak Jaksel

16 Januari 2022   22:46 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:08 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: ebahana.com

Bahasa adalah alat komunikasi manusia. Dengan bahasa, seseorang bisa berkomunikasi dan mengutarakan pesan dan maksud ketika berbicara dengan lawan bicaranya. Demikian fungsi dari bahasa adalah menyampaikan pesan kepada seseorang yang diajak bicara.

Bahasa memiliki sifat. Sifat bahasa adalah dinamis. Bukan statis. Dinamis berarti selalu ada perubahan, tidak tetap, tidak kaku. Bahasa selalu berkembang dari waktu ke waktu, selalu memunculkan sesuatu sesuai dengan zaman, dan seiring zaman, ada bahasa yang hilang.

Kita bisa melihat contoh nyata pada bahasa tercinta kita, bahasa Indonesia. Dulu bahasa kita sungguh berbeda. Sebagai contoh, kita memiliki kata "poetri", "doeloe", "jang", "tjipta". Sekarang, kata-kata ini telah berubah menjadi "putri", "dulu", "yang", "cipta".

Namun, dalam perjalanan waktu pula, bahasa Indonesia mengalami tantangan. Eksistensi bahasa Indonesia mendapat ancaman serius sebab penggunaannya yang kian hari kian dianggap ngawur.

Ketika penggunaan handphone masif penggunaannya di awal tahun 2000-an, kita mengenal bahasa SMS. Bahasa SMS menjadi polemik kala itu karena menggunakan singkatan, seperti, "yg", "t4", "krn" yang masing-masing untuk menghemat kata "yang", "tempat", "karena". Alasan orang kebanyakan adalah demi menghemat pulsa.

Tantangan bahasa Indonesia berlanjut ketika media sosial berhasil menguasai publik. Chat di facebook, di whatsapp kurang lebih sama penggunaannya dengan bahasa SMS. Masih menggunakan singkatan-singkatan. Namun,tetap ada perbedaan seperti kata "p" telah menggantikan ucapan "halo", "selamat pagi", "selamat siang", "selamat sore", dan seterusnya.

Sekarang, bahasa Indonesia kembali diterpa tantangan. Bahasa Indonesia dihadapkan dengan fenomena bahasa anak Jaksel yang sangat kental dengan penggunaan bahasa campuran Indonesia-Inggris. Kata-kata bahasa Inggris yang biasa dicampur dengan bahasa Indonesia, seperti basicly, literally, which is, prefer, even, dan sebagainya.

Memang, sesuai dengan sifatnya, tidak ada masalahnya dengan pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris alias bahasa anak Jaksel ini. Sesuai dengan sifatnya yang dinamis, bahasa menjadi abriter oleh penggunanya. Termasuk ketika bahasa anak Jaksel ini muncul ke permukaan, ini adalah imbas dari dinamisnya suatu bahasa.

Lalu, yang menjadi pertanyaannya, apakah pencampuran dalam bahasa anak Jaksel akan merusak bahasa Indonesia? Apa yang menyebabkan bahasa anak Jaksel ini muncul?

Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab, sebab tidak ada indikator atau standar penilaian untuk menilai apakah suatu bahasa itu rusak atau tidak. Bahasa hanya dapat muncul atau hilang, tergantung pada penuturnya. Sehingga bahasa anak Jaksel adalah bagian dari proses bahasa.

Barangkali yang bisa kita jawab di sini adalah mengapa bahasa anak Jaksel ini bisa muncul. Hemat saya, selain memang karena bahasa itu sifatnya dinamis, kemunculan bahasa anak Jaksel adalah bagian dari cara orang-orang masa kini untuk terlihat istimewa. Fenomena ini adalah bagian dari suatu proses sosial.

Sebenarnya, penggunaan bahasa anak Jaksel adalah agar seorang penutur dapat terlihat keren. Mayoritas pengguna bahasa anak Jaksel adalah anak muda yang sedang mencari jati diri. Mereka menggunakan bahasa sedemikian rupa agar terlihat keren dan bisa diterima dan diakui dalam suatu kelompok sosial.

Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut dengan kapital budaya. Kapital budaya berupa cara berbicara sangat mempengaruhi kedudukan sosial seseorang dalam suatu kelompok sosial. Ketika seorang berbicara menggunakan bahasa anak Jaksel, dia sedang mendongkrak dirinya dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dalam arti ini, dia ingin terlihat keren di mata orang-orang sekitarnya.

Era media sosial adalah momen di mana segala sesuatu berubah, termasuk cara manusia berbahasa. Seperti saat di mana handphone muncul, cara kita menggunakan bahasa berubah. Demikian ketika muncul bahasa anak Jaksel, cara menggunakan bahasa pun berubah, yakni dengan mencampur-adukan bahasa Indonesia dengan bahasa lain.

Di masa depan, entah cara berbahasa seperti apalagi yang akan muncul. Selama bahasa memiliki sifat dinamis, di situ pula selalu ada perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun