B I C A R A
Ketika Bicara Menjadi Pisau Bermata Dua
Bicara adalah seni menyeimbangkan keberanian untuk bersuara dan kebijaksanaan untuk diam
Bicara, sebuah kemampuan yang sederhana tetapi sering disalahgunakan. Setiap manusia dianugerahi lidah untuk menyampaikan pikiran, berbagi cerita, dan menjalin hubungan. Namun ironisnya, bicara yang seharusnya menjadi alat pemersatu, kerap menjadi senjata perpecahan.
Ada mereka yang terlalu banyak bicara, hingga tak sadar melukai hati orang lain. Ada pula yang memilih diam, membiarkan ketidakadilan berjalan tanpa perlawanan. Ketika seharusnya suara menjadi keberanian, ia malah menjadi kebisuan. Dan ketika diam menjadi bijaksana, ia sering dianggap ketidakpedulian.
Bicara adalah paradoks. Ia bisa menjadi jembatan atau jurang. Kata-kata dapat menyejukkan, tetapi bisa pula menjadi bara yang membakar. Bukankah kita sering melihat orang yang pandai berbicara, namun ucapannya kosong? Di sisi lain, ada mereka yang jarang bicara, tetapi sekali bicara, dunia berhenti untuk mendengarkan.
Mengapa kita bicara, jika hanya untuk menyakitkan? Mengapa kita diam, jika tahu kebenaran perlu disuarakan? Bukankah lebih baik bicara dengan bijak daripada banyak bicara tanpa arah?
Bicara bukan hanya tentang menggerakkan lidah. Ia adalah seni memilih kata yang tepat, di waktu yang tepat, untuk tujuan yang tepat. Dan ketika kita mampu memahami itu, mungkin kita akan menyadari bahwa bicara lebih dari sekadar suara---ia adalah tanggung jawab.
Kesimpulan:
Bicara adalah kekuatan yang harus digunakan dengan penuh kesadaran. Ia mampu menyatukan, tetapi juga bisa memisahkan. Bijaklah dalam memilih kapan harus bicara dan kapan harus diam, karena setiap kata yang keluar adalah cerminan tanggung jawab kita terhadap diri sendiri dan orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI