Mohon tunggu...
Mario Natalino
Mario Natalino Mohon Tunggu... Administrasi - Mencoba menulis dan berbagi hal baik bagi semesta

Don't judgement a someone if them can't make better your dreams.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Fakta Tinggal Cerita

2 September 2020   00:00 Diperbarui: 1 September 2020   23:58 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi : gurupendidikan.com)

Cerita adalah cara yang lazim digunakan setiap individu untuk mendeskripsikan suatu peristiwa. Gaya penyampaiannya pun beragam. Ada yang berusaha menuangkan emosi situasi lampau saat itu. Ada pula yang ala kadarnya. Jadi ingat masa-masa SMP, tatkala musim libur berakhir, cerita pengalaman liburan pun ditagih para guru.

Ada pula cerita yang memang berisikan sejarah penting dari kejadian masa lampau. Dan menjadi tonggak berdirinya suatu bangsa. Tentu saja ini merupakan warisan luhur sekaligus anugerah dari Sang Pencipta yang tetap dan harus dijaga.

Namun belakangan ini muncul cerita yang merugikan. Betul sekali, yakni cerita bohong. Tujuannya untuk memperalat atau mempengaruhi individu hingga kelompok. Sebagai upaya pemecah belah. Ada juga yang beralasan narsis agar dirinya naik ke permukaan dan diperbincangkan publik.

Tetapi perlu dibedakan antara cerita bohong dan cerita fiksi. Cerita bohong sudah tentu arahnya negatif, sementara cerita fiksi merupakan karya sastra. Cerita fiksi dibuat dengan semangat tertentu. Ada yang menuliskan tentang persahabatan, percintaan, pengorbanan, dan pengkhianatan. Dan penulis menyisipkan pesan moral bagi pembacanya.

Lalu mungkinkah harta karun Indonesia hanya tinggal cerita? Tak pasti jawabannya, bisa terjadi jika kepentingan rakyat tak selalu diperhatikan. Kebijakan hanya perkara trik. Kongko lebih asyik di kedai kopi, atau bahkan di bar ekslusif. Pajak terus mencekik lalu rakyat menjerit. Subsidi tinggal janji tanpa solusi.

Lalu yang terjadi:

Hutan-hutan di Nusantara perlahan berganti beton mengukur tingginya angkasa. Lumbung-lumbung padi ditimbun semen dan pondasi cakar ayam. Air Bah menanti-nanti dengan riang untuk berselancar. Perut bumi semakin dalam dikeruk hingga tersisa ampas-ampas investasi. Buah Emas mengular dari hulu Bumi Tambun Bungai hingga memenuhi hilir Seribu Sungai. Mungkin besok ia akan menjelajahi negeri seberang, lalu berkembang biak dan memenuhi tanah Ibu Pertiwi.

Abad berganti abad dan tak terasa satu milenium pun akan berakhir. Generasi baru tak mengerti rindangnya pohon. Hanya mempu berimajinasi melalui rekam digital serta tanyangan film. Hampir sejauh mata memandang hanya berisikan beton-beton megah.

Risaukah dirimu? Lalu apa yang hendak kamu lakukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun