Mohon tunggu...
M Arifin Pelawi
M Arifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - PNS

Mahasiswa PhD yang dibiayai LPDP

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan dalam Kapitalisme

5 Desember 2020   09:11 Diperbarui: 5 Desember 2020   09:15 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika masih SD dahulu, saya ingat beberapa orang teman sekolah yang datang ke sekolah dengan tidak pakai sepatu. Mereka juga memakai pakaian yang lusuh dan bahkan kehilangan kancing diganti dengan peniti. Saat itu rasanya ada tidak senang kepada mereka. Mereka tidak mematuhi aturan sekolah. Tambahan lagi, para teman ini memiliki kemampuan akademik yang sangat lemah. Sudah kelas lima SD bahkan tidak bisa baca dan menulis dengan benar. Kok, rasanya mereka bukan hanya tidak mematuhi peraturan sekolah dan juga malas belajar.

Pada masa itu, sebagai ketua kelas dan merasa sebagai anak paling pintar di kelas yang diraih dengan kerja keras belajar dengan tekun maka ada rasa superioritas. Superioritas yang berdasarkan anggapan bahwa saya seorang yang rajin belajar dan mampu mematuhi peraturan dan akan mudah mencapai kesuksesan. Sementara anak-anak ini seperti yang dikatakan banyak orang, tidak suka mematuhi peraturan dan malas belajar maka akan tidak sukses.

Superioritas ini menjadi beda ketika telah mulai belajar tentang sosiologi pendidikan. Baru mengetahui bahwa seberapa besar hal yang teman saya lakukan berhubungan dengan keputusan pribadi dan seberapa besar keadaan keluarga dan lingkungan mempengaruhinya. Kerja keras belajar yang saya banggakan mungkin tidak seberapa dibandingkan bagaimana mereka harus berjalan dari rumahnya yang ada di pelosok dan butuh setengah jam berjalan kaki setiap hari tanpa sepatu. Bukan mereka tidak berusaha beli sepatu, tetapi dengan perjalanan jauh maka sepatu mereka tidak bertahan lama karena orang tuanya hanya mampu beli yang murah jadi tidak lama dan karena menempuh jalan jauh dan sulit maka rusak. Pakaian mereka tidak banyak dan karenanya pakaian yang sama bisa dicuci dan dikeringkan. Lalu seberapa hebat kerja keras saya dan berapa besar perasaan superioritas itu membuat saya malu. Kerja keras mereka lebih dari saya tapi karena lingkungan dan keadaan membuat mereka tidak mampu merasakan kenikmatan belajar dengan bebas dan kemampuan untuk bisa memenuhi aturan. Dan tambahan satu lagi saya harus mengetahui bahwa kita tidak bisa memilih kepada siapa kita dilahirkan. Sang Pencipta telah memberi saya berkah untuk lahir di keluarga yang lebih baik.

Cerita di atas merupakan contoh sederhana dari ketidakadilan karena perbedaan keluarga tempat lahir dan imajinasi sebagai manusia karena kekurangan pengetahuan. Hal yang sama terjadi di seluruh dunia diaman yang miskin merupakan orang yang disalahkan. Orang kaya yang mendapatkan seluruh kenikmatan. Ketidakadilan yang terjadi karena manusia memiliki nafsu yang tidak terkendali untuk bersaing dan mengejar kekayaan dalam dunia kapitalisme.

Pada sosiologi pendidikan, tokoh yang paling terkenal membahas masalah ini adalah Bourdieu. Beliau menyatakan bahwa kapitalisme memasuki pendidikan dalam pengejaran manusia untuk bersaing. Persaingan yang tidak adil karena peserta didik bersaing dengan dasar modal yang berbeda. Dalam persepsi beliau, modal itu tidak hanya berupa kekayaan uang (modal ekonomi) tetapi juga berupa koneksi (modal sosial) dan pengetahuan dan skill (modal kultural). Semua modal di atas didapatkan manusia dari orang tuanya dan bisa diwariskan kembali. Ketika pendidikan menjadi tempat persaingan dan secara otomatis lembaga ini akan berubah dari tempat manusia mendapatkan pencerahan menjadi alat filter bagi manusia membedakan kelas sebagai manusia. Kelas dan lembaga sekolah akan dibedakan berdasarkan tingkat kepemilikan ketiga modal di atas pada murid yang berpartisipasi. Tempatnya menempuh pendidikan akan menjadi pembeda siapa manusia sukses dan siapa yang akan menjadi manusia gagal.

Namun, tentu saja ada diberikan ilusi bahwa semua manusia bisa naik kelas dan persaingan yang adil terjadi karena semua orang dianggap berkompetisi dengan hal yang sama. Media akan dihebohkan dengan adanya pekerja keras yang mampu naik kelas dengan kerja kerasnya. Hal yang menghebohkan ini cukup ironi karena dengan kehebohan ini menutup bahwa yang berhasil memang terlalu sedikit. Ketiga modal dia atas yang dimiliki dan diwariskan membuat sangat jarang ada manusia bisa naik atau turun kelas.

Keadaan di Indonesia, pengaruh kapitalisme dalam pendidikan akan lebih parah daripada yang tercantum literatur barat. Ketidakadilan yang terjadi lebih menyesakkan. Para orang tua yang memiliki modal yang kuat bukan saja bisa memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah mahal dan berfasilitas lengkap tetapi juga merebut hak orang miskin bersekolah di negeri. Banyak kasus terjadi bahwa orang tua dengan ekonomi baik memalsukan data demi bisa mendapatkan tempat disekolah negeri. Pada sisi lain dengan kekayaan ekonomi juga memasukkan anaknya di bimbel yang mampu mengajarkan anak untuk menaklukkan tes dengan memahami menjawab soal bukan dengan memahami pengetahuan sehingga bisa berprestasi.

Pada sisi lain banyak siswa miskin harus tersingkir belajar di sekolah swasta. Sekolah swasta murah yang di mana gurunya sering absen mengajar karena perlu cari nafkah tambahan biar bisa hidup dan menyuruh murid belajar sendiri. Murid yang bahkan tidak mampu beli  buku pelajaran dan dengan fasilitas perpustakaan buruk yang harus belajar sendiri. Ditambah lagi dengan keadaan keluarga yang tidak mampu harus bekerja setelah sekolah dan atau memiliki banyak tanggung jawab mengurus rumah dan adiknya karena kedua orang tuanya harus bekerja mencari nafkah. Keadaan yang tentu saja tidak adil namun bagi masyarakat Indonesia bukan dianggap ketidakadilan dan merupakan hal yang wajar.

'Salah sendiri kenapa memilih menjadi miskin'. Ah, sebuah ungkapan yang secara tidak langsung menyalahkan sang Pencipta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun