"Maaf ya bu, ... tak ada medali untukmu kali ini!..." Ia menghampiriku sambil  menunduk lesu, ditangannya masih menggenggam  sertifikat partisipasi, bukan medali seperti yang dia harapkan. Padahal seminggu yang lalu, anak ini adalah sosok penuh semangat yang sangat tekun melatih gerakan demi gerakan yang akan dia tampilkan dalam perlombaannya. Ini bukan yang dia impikan, dia ingin memenangkan kejuaran dan membuat  orang tuanya bangga.
Sebagai orang tua, ada rasa sesak di dada ini, mendapatinya tertunduk lesu dengan ucapan tersebut.  Bukan karena dia kalah. Tapi karena dia merasa gagal membuat bangga dan bahagia orangtuanya.  Dan rasanya, ada luka yang bukan berasal dari  podium yang gagal ia pijak, tapi di relung batinnya dimana dia  mulai mengira bahwa cinta orang tua hanya datang bersama kemenangan yang dia peroleh.
Anak gadisku ini sudah beberapa kali menang di lomba sebelumnya. Ia tahu rasanya naik podium dengan gemuruh  sorak sorai dan senangnya berkalung medali sambil memandang orangtuanya yang tersenyum bangga. Tapi, berbeda di pertandingan kali ini ia kalah dan merasa sangat gagal.  Yang dia rasa saat ini, sepertinya  tidak ada cerita baik yang pernah ia buat,  hanya rasa sedih yang terus menggelayut dalam ingatanya.
Sebagian besar anak tidak takut kalah, tetapi  mereka takut mengecewakan orang tuanya. Dan sebagai orangtuanya, ternyata sadar atau tidak aku  telah menambahkan / menyematkan  beban ini ke pundak anakku. Kejadian diatas membuatku  kembali merenung, "Apakah aku sebagai orangtua  terlalu memberi tekanan kepadanya?" , "Apakah aku terlalu sering berkata: ayo, buktikan lagi kamu bisa!" dan "Apakah aku terlalu sering memuji ketika dia menang, tapi bersikap biasa-biasa saja  / cenderung cuek saat dia kalah?". Dari pertanyaan-pertanyaan ini aku tersadar, bahwa responku  selama ini dalam  menyambut  kemenangan anakku  ternyata  membentuk caranya  melihat cintaku kepadanya.Â
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Carol Dweck, seorang profesor psikologi dari Stanford, menyebutkan bahwa anak yang tumbuh dalam pujian berdasarkan hasil (misal: "Kamu hebat karena menang!") cenderung lebih mudah stres saat menghadapi kegagalan. Namun,  anak yang dipuji atas proses dan ketekunan ("Aku bangga kamu mau berproses hingga  sejauh ini") ternyata membangun pola pikir berkembang dan membantu mereka lebih tahan terhadap tekanan.Â
Kegagalan bukan hanya soal kalah lomba. Tapi bagaimana anak memaknai siapa dirinya ketika ia tidak 'berhasil'. Juga dipengaruhi kuat oleh narasi yang kita bangun setiap saat  di rumah. Sebagai orangtua, kita semua pernah berharap banyak dari anak ( tanpa sadar).  Kita ingin mereka unggul dan bersinar, hal ini semacam bukti keberhasilan kita sebagai orang tua.Â
Orangtua melakukan itu sebetulnya bukan karena  ambisi, tapi karena cinta. Kita ingin mereka punya masa depan yang cerah. Tapi jika anak menangis hanya karena dia tidak bisa memberi kita medali, maka yang kalah bukan hanya dia, tapi juga hubungan batin antara orang tua dan anak.
Dari peristiwa diatas, kita belajar bahwa sebagai orangtua ada beberapa hal yang bisa kita lakukan :
1. Â Mengubah bahasa cinta kita
 Dari yang biasanya kita ucapkan ke anak  "Ayah/Ibu bangga karena kamu menang", coba  katakan juga "Kami bangga karena kamu berani mencoba, berani gagal, dan tidak menyerah."
2. Â Berhentilah Menjadikan Anak Proyek Kesuksesan
 Ingatlah, bahwa keberhasilan anak bukan portofolio dari orangtuanya,  Ia manusia yang sedang belajar. Jangan jadikan pencapaiannya sebagai validasi keberhasilan kita sebagai orang tua.