Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Saat Saya Kecanduan Media Sosial

8 Mei 2021   10:56 Diperbarui: 8 Mei 2021   12:31 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Sara Kurfeb/Unsplash

Alasan saya menambahkan mereka sebagai teman padahal belum pernah bertemu sangat sederhana: saya mengenali mereka dari tulisan mereka di Kompasiana. Dari tulisan-tulisan tersebut saya bisa mengetahui apakah seseorang itu orang baik-baik. Sulit lho, pura-pura menjadi orang (berpikiran) baik setelah lebih dari 100 tulisan. Dan terbukti benar, teman saya yang Kompasianer memang baik-baik. Beberapa yang postingannya masih sering lewat di laman muka Facebook saya sampai sekarang adalah: Bu Lis Suwasono, L. Maurinta, Kartika Lestari Kariono, Bu Leya Catleya, dan Arako.

Selain Kompasianer, saya juga menambahkan orang-orang yang pemikirannya sejalan dengan saya, atau kalaupun bertentangan, tidak terlalu vulgar. Maksudnya bahasa yang digunakan tetap santun dan tidak suka debat-debat tak berguna. Tahu sendiri kan betapa besar polarisasi yang terjadi di masyarakat (media sosial) menjelang Pilpres 2014 kemarin. Dari mana saya mengetahui pemikiran mereka? Dari postingan mereka yang di-setting publik.

Setting publik pada postingan Facebook artinya postingan tersebut dapat dilihat oleh semua orang tanpa harus menjadi teman dari pemilik status. Postingan tersebut juga dapat dicari dari luar Facebook, misalnya lewat mesin penelusuran Google. Oleh sebab itu, saya pasti berpikir baik-baik sebelum memutuskan untuk mempublikasikan sebuah postingan dalam setting publik: apakah postingan ini benar, berguna dan baik? Jika ada satu jawaban tidak dari ketiga pertanyaan tersebut, maka sebaiknya postingan tersebut tidak jadi dipublikasikan sebab jejak digital itu (kadangkala) bisa kejam.

Terbukti dengan menyaring teman berdasarkan hal ini, tidak ada postingan bernada ujaran kebencian atau hal-hal yang menggelisahkan hati mampir di beranda Facebook saya. Bisa dikatakan linimasa media sosial saya relatif aman.

Masalah yang timbul kemudian bukan berasal dari segi keamanan maupun konten yang mampir ke beranda saya namun dari saya sendiri. Saya kecanduan media sosial!

Jangan salah, kecanduan media sosial benar-benar nyata. Media sosial yang baik memang dirancang agar penggunanya menghabiskan banyak waktu di sana. Media sosial yang dirancang dengan baik akan memicu keluarnya banyak dopamin di otak kita. Makin baik media sosial itu, makin deras dopamin yang keluar.

Dopamin adalah neurotransmitter (senyawa organik yang dibuat oleh tubuh dan berfungsi sebagai pembawa sinyal antar sel saraf, bisa dikatakan sebagai "media ngobrol" antar sel saraf) yang memberikan rasa puas atas pencapaian. Dopamin yang keluar saat bermain gim maupun berselancar di media sosial memberikan kesenangan pada kita, semacam "hadiah" untuk otak atas aktivitas yang kita lakukan.

Permasalahannya tubuh kita memiliki sistem keseimbangan atau homeostatis. Ketika dopamin terlalu banyak, maka tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah reseptor dopamin pada otak. Reseptor ini merupakan tempat dopamin "diterima" sel saraf agar dapat bekerja. Dengan kata lain agar bisa bekerja dan menimbulkan efek, dopamin harus terikat dengan reseptornya.

Yang terjadi jika jumlah reseptor dopamin di otak berkurang adalah kita jadi membutuhkan jumlah dopamin yang lebih banyak untuk memperoleh kepuasan yang sama. Ingat, dopamin memicu timbulnya rasa puas karena mengerjakan sesuatu. Kita jadi membutuhkan lebih banyak waktu untuk berselancar di media sosial, butuh lebih banyak like and comment dan sebagainya. Media sosial memang dirancang agar penggunanya ingin datang kembali lagi dan lagi.

Inilah gejala yang saya rasakan saat akhirnya menyadari bahwa saya telah kecanduan media sosial: saya jadi mengecek linimasa saya secara obsesif-kompulsif, hanya untuk mengetahui apakah ada komentar atau like terbaru dari postingan saya. Saya berusaha memikirkan bagaimana membuat postingan yang mengundang orang untuk membagikannya, minimal berkomentar. Saya akan menulis setiap hari, bahkan pernah lebih dari sekali sehari, hanya agar saya merasa lebih baik lagi. Ingat, banyak like sama dengan lebih banyak dopamin yang keluar di otak saya.

Masalah lain yang muncul selama saya kecanduan adalah: kegiatan sehari-hari saya yang tidak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar jadi tidak menyenangkan lagi. Kegiatan apa saja? Banyak, misalnya membersihkan rumah, mandi, membaca buku atau  materi (kuliah, atau materi apapun yang cukup berat), dan sebagainya. Saya jadi kehilangan minat pada hal-hal ini, padahal hal-hal tersebut penting untuk kehidupan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun