Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus 80 Juta, Netizen dan Pentingnya Sekolah Ibu

10 Januari 2019   14:52 Diperbarui: 12 Januari 2019   18:56 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prostitusi (kredit: Adam Greenman Law)

Belakangan ini media sosial saya ramai dengan kasus 80 juta. Awalnya saya pun tidak tahu ada apa dengan besaran 80 juta tersebut, namun setelah melihat berita di Google barulah saya mengerti apa yang sedang terjadi. Seorang selebriti perempuan ditangkap sedang bertransaksi seksual di Surabaya.

Hal itu sebetulnya biasa saja, bahkan bisa ditanggapi dengan sekadar "oh gitu ya ..." namun ternyata netizen Indonesia menganggapnya besar sehingga patut dibahas di mana-mana. Ada berbagai opini yang muncul ada yang kasihan terhadap selebriti tersebut namun lebih banyak yang mencaci perbuatannya.

Salah satu opini yang kemudian memancing keributan dibuat oleh seorang mahasiswi psikologi tingkat awal yang tanpa perlu saya sebutkan namanya yang terkenal sejak SMA sejak tulisannya menjadi viral. Kompasianer tentu sudah tahu siapa kiranya gadis tersebut.

Dalam opini yang dituliskan di halaman Facebook pribadinya, gadis tersebut menyoroti sikap perempuan yang cenderung terlalu jahat dalam menghakimi kaum sesamanya, dalam hal ini kasus yang menimpa selebritis itu. Sayangnya di awal opininya, sang gadis menyebutkan sesuatu yang memelantuk kekesalan ibu rumah tangga se-Indonesia Raya: Siapa yang lebih murahan, selebritis yang sekali ngangkang dibayar 80 juta atau ibu rumah tangga yang sebulan dibayar 10 juta untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah termasuk merawat suami dan anak-anak?

Konten status itu menjadi viral, mungkin jauh lebih viral dari kasusnya sendiri. Penulisnya pun mendapat banyak komentar negatif dari mereka yang bahkan tidak (mau) membaca secara keseluruhan tulisan tersebut. Sadisnya banyak yang mendoakan hal-hal buruk terhadap gadis yang menuliskan status tersebut. Tidak hanya itu, kaum ibu yang merasa tersinggung ini juga menghina Ibu dari gadis ini.

Ada satu komentar yang menarik perhatian saya. Si komentator mendoakan agar gadis ini memperoleh suami yang dapat membayarnya 30 kali 80 juta perbulan agar mampu menyamai tarif selebritis yang sedang berkasus. Doa yang sebenarnya nyinyir ini saya amini (dengan mantap). Semoga benar-benar terjadi. Mengapa? Karena (ketika bertemu pria yang tepat) sangat mungkin mendapat uang belanja bulanan sebesar 2,4 Milyar rupiah. Lha wong Jammie Chua saja masih mendapat 4,5 Milyar rupiah per bulan dari mantan suaminya kok. Itu sudah mantan istri, lha kalau masih jadi istri? Jauh lebih besar dong.

Lalu apa hubungannya kasus 80 juta ini dengan sekolah ibu? Hubungannya adalah saya merasa bahwa sekolah Ibu perlu diadakan. Bukan hanya di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bogor namun di seluruh wilayah Indonesia.

Tunggu dulu, ini bukan berarti saya mendukung pernyataan wakil bupati Kabupaten Bandung Barat Hengky Kurniawan, bahwa sekolah ibu diperlukan untuk menekan angka perceraian. Sebaliknya, saya berharap sekolah ibu, dengan program-programnya yang bermanfaat seperti yang sudah diterapkan di Kabupaten Bogor (link) dapat membuat ibu lebih "pinter". Pintar mengurus rumah tangga, memberdayakan diri, dan berani bertindak ketika tidak lagi dihargai suami. Oya, dan satu lagi: melek literasi.

Banyaknya komentar negatif tanpa memahami ide apa saja yang terdapat dalam sebuah tulisan (hanya mencomot satu kalimat dan menghakimi, hanya membaca caption berita dan komentar panjang lebar) adalah bukti nyata bahwa manusia Indonesia yang buta huruf fungsional.

Saya memiliki sebuah pengalaman tentang hal ini. Ketika artikel saya yang berjudul Fenomena Pelakor dan Bagaimana Menghadapinya menjadi headline di kompasiana, saya menunjukkannya pada seorang teman untuk dikomentari. Tidak diduga komentarnya adalah "Mengapa kamu mengajak perempuan untuk berselingkuh membalas suaminya yang selingkuh?"

Sebagai penulis artikel tersebut saya tahu bahwa itu bukan pesan yang saya sampaikan. Sedih sekali ketika teman dekat saya pun ternyata tidak mampu menangkap pesan yang saya sampaikan. Hal ini meyakinkan saya bahwa kita berada dalam masalah jika buta huruf fungsional ini tidak ditangani. Sekolah ibu mungkin dapat menjadi alat yang efektif dalam memberantas hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun