Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Mimpi tentang Swasembada Pangan

30 September 2015   02:29 Diperbarui: 30 September 2015   14:31 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13682787841317416484

[caption id="attachment_260485" align="aligncenter" width="500" caption="padi di pekarangan rumah p. Sobirin (dok. Supardiyono Sobirin)"][/caption]

Setiap pembicaraan mengenai pangan lokal, saya selalu di-colek-colek oleh rekan sejawat. Mungkin karena mengetahui betapa geramnya saya terhadap pemerintah Indonesia yang selalu mengimpor pangan sementara potensi dalam negeri begitu besarnya. Sehingga dalam setiap kesempatan yang memungkinkan, saya selalu meminta peluang menanam tanaman pangan di taman (ruang publik) maupun di area urban farming.

Pangan adalah kebutuhan utama manusia, terletak di dasar piramida teori Maslow. Sayangnya pada jaman orde baru pemerintah Indonesia tergoda revolusi hijau yang diterapkan pemerintah India. Revolusi Hijau, sebuah istilah yang digulirkan pertama kali oleh William Gaud, Direktur United States Agency for International Development ( USAID ) , suatu badan pembangunan internasional Amerika Serikat. Istilah Revolusi Hijau digunakan untuk menggambarkan betapa revolusionernya hasil penyebaran benih unggul padi dan gandum yang berasal dari teknologi pertanian.

Benih unggul berlabel IR tersebut hasil dari International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina yang tugas utamanya menghasilkan benih padi unggul. IRRI merupakan bentukan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, dua perusahaan raksasa Amerika Serikat. Hasil panen padipun bisa diduga, sawah yang semula hanya mampu 2 kali panen berubah menjadi 3 kali panen dalam setahun.

Puncaknya terjadi pada tahun 1984, Indonesia mendapat penghargaan dari FAO atas prestasi swasembada pangan karena semenjak tahun 1960-an, Indonesia selalu kekurangan beras. Swasembada beras berarti jumlah beras yang diproduksi selama satu tahun mencukupi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada tahun yang sama.

Apakah itu berarti kebutuhan pangan tercukupi sehingga tidak ada lagi penduduk Indonesia yang mengalami kelaparan? Sayangnya menurut data Bappenas tahun 1984, jumlah keluarga di Indonesia yang mengalami kekurangan sebanyak 39,2 % dan kekurangan protein sebanyak 51 %. Jumlah anak-anak dan ibu hamil yang mengalami malnutrisi dan kematian akibat krisis pangan juga masih tinggi. Ada banyak penyebab mengapa tidak semua orang bisa mengakses hasil pangan berlimpah tersebut, yaitu penduduk miskin yang tidak mempunyai lahan memadai, daya beli rendah, rendahnya kemampuan merespon teknologi yang diperkenalkan dan terhambatnya jalur distribusi pangan ke wilayah tempat kelaparan terjadi.

Keberlanjutan swasembada beraspun tidak berlangsung lama. Tercatat swasembada beras hanya terjadi pada tahun 1985, 1986, 1988 dan 1993. Diluar itu, Indonesia menjadi negara pengimpor beras bahkan kini menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia karena 25 % dari 8 juta ton beras di pasar internasional diimpor ke Indonesia.

Analoginya seperti mencuci pakaian melebihi kapasitas mesin cuci. Satu , hingga dua atau mungkin sekian kalinya mesin cuci masih sanggup beroperasi sesuai keinginan pemiliknya tetapi makin lama mesin akan rusak. Demikian pula tanah, ketika awal mula ditanami benih unggul maka hasil panen berlimpah, terlebih pupuk kimia sintetis dan hormon (zat pengatur pertumbuhan tanaman) diperkenalkan dan digunakan petani untuk disemprotkan pada tanaman secara periodik. Khusus di Jawa Barat, penulis pernah mengadakan survey bersama suatu lembaga riset dan terbukti hasil panen mereka melebihi estimasi, sangat mengagumkan.

Sayangnya ada hukum alam yang dinafikan oleh revolusi hijau, yaitu melupakan proses makan memakan yang seharusnya berlangsung dalam suatu ekosistem agar berlangsung pertanian yang berkelanjutan. Jika mesin cuci rusak karena digunakan terus menerus tanpa istirahat serta melebihi kapasitas, maka tanah dan alam sekitarnya memberontak dengan caranya sendiri. Gersang, kering, pecah-pecah dan berbagai penyakit tanaman berdatangan. Semakin banyak pestisida disemprotkan maka akan semakin imun hama terhadap pestisida sintetis sehingga membutuhkan pembunuh hama lebih banyak lagi.

Pada tahun 1962, seorang ahli ekologi bernama Rachel Carson menulis buku berjudul Silent Spring, yang menceritakan hasil penelitiannya mengenai dampak pestisida terhadap hewan-hewan, terutama burung yang cangkangnya menjadi lebih rapuh karena pengaruh pestisida. Akibatnya jumlah burung semakin sedikit. Hal ini digambarkan Rachel Carson sebagai hilangnya kicauan burung pada musim semi. Pertanyaan Rachel Carson, apakah ini dunia yang kita inginkan ? Dunia yang rakyatnya makan kenyang tetapi tidak pernah lagi mendengar kicauan burung ?

Buku ini telah membangkitkan kesadaran masyarakat Amerika dan dunia tentang dampak dari pembangunan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Semakin banyak penelitian dilakukan dan semakin banyak fakta yang ditemui. Misalnya, ternyata pestisida tidak saja berdampak pada populasi burung tetapi pada manusia itu sendiri. Penyakit kanker dan berbagai penyakit baru lainnya terus meningkat sejak revolusi hijau. Bahkan kemudian jumlah hama ternyata justru meledak di mana-mana, akibat berkembangnya hama yang kebal pestisida dan semakin berkurangnya pemangsa alami hama. Tanah-tanah pertanian juga makin menurun kesuburannya, karena dipaksa berproduksi terus menerus. Tujuan revolusi hijau terancam oleh obat ampuhnya sendiri.

Kerusakan utama yang ditimbulkan revolusi hijau adalah tidak adanya keberlanjutan tanaman dalam berproduksi secara berkelimpahan tersebut. Beberapa studi membuktikan bahwa revolusi hijau melahirkan berbagai persoalan, antara lain:

  • Petani terperangkap dalam teknologi yang tidak mampu diciptakannya sendiri. Karena petani menjadi konsumen /pemakai teknologi yang diciptakan pabrik. Benih unggul, pupuk dan pestisida kimia sintetis dan sarana produksi lainnya merupakan produk pabrik. Petani menjadi kehilangan kreativitas untuk mencari solusi karena kehilangan kearifan lokal yang secara turun temurun mereka ketahui dan praktekkan. Pada awalnya petani mendapat bantuan teknologi pertanian baru secara gratis, berasal dari subsisidi pemerintah dengan menggunakan dana hutang dari lembaga keuangan multilateral dan bilateral. Tetapi kemudian petani harus membeli sendiri benih unggul, pupuk dan berbagai teknologi baru tersebut. Sungguh berbeda halnya dengan situasi ketika petani mampu memproduksi sendiri benih, pupuk dan pestisida alami. Hasil pertanian memang tidak sedahsyat hasil pertanian sewaktu revolusi hijau, tetapi petani mandiri dalam bertani, tidak tergantung pada teknologi yang tidak mampu diciptakannya.
  • Petani menjadi korban pasar. Karena revolusi hijau pada prakteknya mengembangkan kawasan-kawasan monokultur sehingga ketika panen raya tiba maka otomatis harga komoditas jatuh. Keadaan diperparah hasil panen yang mudah membusuk karena tanaman yang ditanam tidak didesain untuk tahan disimpan dalam kondisi keseharian petani. Selain itu umumnya petani terjebak hutang besar yang diperlukan untuk membeli benih, pupuk dan pestisida.
  • Petani kaya semakin kaya, petani miskin semakin miskin. Ketika pemerintah masih mensubsidi maka penerima keuntungan terbesar adalah petani berlahan luas. Karena merekalah yang lebih banyak memerlukan sarana produksi. Demikian juga ketika harga jual di pasar disubsidi pemerintah , keuntungan terbesar diterima oleh petani yang menjual lebih banyak ke pasar. Sedangkan petani berlahan sempit hanya mengonsumsi habis hasil pertaniannya, tidak bersisa dan berakhir terperangkap hutang pembelian sarana produksi pertanian. Perangkap kemiskinan juga mengakibatkan petani berlahan sempit menjual lahannya pada petani kaya.
  • Rusaknya hubungan konsumen dan petani. Revolusi hijau tidak hanya membentuk pola konsumtif petani, demikian juga konsumen yang membeli dan mengonsumsi hasil pertanian. Hubungan terputus karena konsumen tidak dididik untuk mengerti proses produksi dan dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan serta kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Konsumen menganggap hasil pertanian layaknya produk pabrikan sehingga tidak mempedulikan bahwa produk pertanian yang dibelinya adalah hasil eksploitasi manusia lainnya dan alam. Sehingga mereka menuntut harga semurah mungkin, kualitas setinggi mungkin dengan mengenyampingkan kemungkinan kerugian/kebangkrutan petani karena hilangnya hubungan harmoni anatar konsumen dan petani.
  • Dampak buruk revolusi hijau bagi kesehatan. Menurut WHO, rata-rata setiap tahun ada sekitar 772 ribu kasus penyakit baru yang berhungan dengan pestisida (laporan PAN UK). Studi yang dirangkum Pesticide Action Network, UK menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang penggunaan pestisida secara regular dapat menyebabkan penyakit-penyakit kronis seperti kanker dan penyakit yang berhubungan dengan saraf dan fungsi reproduksi. Sedangkan tim peneliti dari Universitas Montreal dan Harvard menyimpulkan penggunaan pestisida yang berlebihan pada tanaman dapat kemungkinan meningkatnya resiko attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak-anak. ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan.

Dampak revolusi hijau terhadap kelestarian alam adalah sebagai berikut:

  1. Residu. Akibat proses makan memakan dalam ekosistem tidak dapat menerima keberadaan bahan kimia sintetik maka bahan tersebut tidak larut dalam waktu yang cukup lama. Sehingga residu tertinggal di tanah, air dan udara serta menjadi racun bagi mahluk hidup.
  2. Penggunaan bahan kimia sintetik untuk membunuh jasad pengganggu ternyata menghasilkan persoalan baru. Beberapa jenis pengganggu tersebut tumbuh dan melahirkan generasi baru yang lebih resisten terhadap pestisida yang digunakan. Jasad pengganggu yang baru ini kemudian berkembang pesat mengambil alih produksi yang diharapkan.
  3. Menurut Food and Agriculture Organization /FAO (2000) intensifikasi pertanian berkontribusi lebih dari 20 % emisi rumah kaca global. Mengakibatkan terancamnya 70 % spesies burung dan 49 % spesies tanaman. Monokulturisasi mengakibatkan hilangnya plasmanutfah. Ribuan jenis bibit yang dikembangkan petani, hilang begitu saja karena diperkirakan dua benih hilang setiap minggunya.
  4. Menurut Shiva (2000), para petani Filipina sudah mengembangkan ribuan varietas padi secara turun temurun untuk menyangga ketahanan pangan mereka. Sayangnya pada tahun 1980-an, 98 % dari seluruh lahan pertanian di Filipina hanya ditanami dua jenis varietas Revolusi Hijau. Dari 10.000-an varietas gandum yang pernah dikembangkan di China, pada tahun 1970-an hanya tersisa 1000. Demikian pula di Meksiko, hanya tinggal 20 % dari jagung varietas tradisional yang masih bertahan.

Jelaslah, tuntutan surplus pangan dengan menggunakan revolusi hijau tidak menguntungkan pihak manapun. Pengenalan teknologi baru ke dalam system sosial yang tidak adil tidak akan menghentikan krisis pangan. Kelaparan justru akan lebih parah tatkala teknologi baru tersebut berdampak buruk terhadap kualitas tanah, meningkatnya hama penyakit tanaman dan melumpuhkan kreativitas petani. Teknologi kompos disudah lama dilupakan, benih lokal sebagian besar telah punah. Benih hibrida yang digadang-gadang sebagai benih unggul umumnya tidak bisa digunakan lagi sebagai benih, sehingga petani harus membeli benih baru.

Diversifikasi pangan adalah jawaban terhadap tuntutan pemenuhan kebutuhan akan pangan. Masyarakat Indonesia yang terbiasa mengonsumsi pangan non beras jangan diberasnisasi. Masyarakat pengonsumsi beras harus diperkenalkan kembali dengan pangan lokal lainnya. Stigma ‘anak singkong’ adalah anak kere harus dihapus. Jika tidak dimulai maka tuduhan Indonesia sebagai penyebab gonjang ganjingnya harga karena memborong 25 % dari 8 juta ton beras di pasar internasioanal tidak pernah akan berhenti, bahkan akan semakin menjadi-jadi. Mengutip tulisan kompasianer Kadir Ruslan, tahun 2011 silam, Bulog mengimpor 2,16 juta ton atau sekitar 7 trilliun devisa Negara. Ataukah hal tersebut memang sengaja dibiarkan hingga kita menjadi begitu tergantung pangan impor, tidak mampu memproduksi pangannya dan dipermainkan bangsa lain melalui pangan?

**Maria G. Soemitro**

 

Sumber:

Kadir Ruslan-Kompasiana

Greenersmagz.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun