Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Moratorium Hutan dan Keberlanjutan Lingkungan

30 September 2015   07:32 Diperbarui: 30 September 2015   14:31 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption id="attachment_252466" align="aligncenter" width="576" caption="penggundulan hutan (dok. DPKLTS)"][/caption]

Begitu banyak musibah terjadi di Indonesia, tetapi bencana banjir dan tanah longsorlah yang paling menyedihkan. Karena penyebabnya kelalaian manusia. Sehingga bisa diprediksi. Bisa dihindarkan. Tapi diabaikan. Ibarat mengetahui pertanda suatu bangunan hampir roboh, tidak ada seorangpun bertindak mengambil langkah penyelamatan. Apalagi membuat perencanaan jangka panjang.

Demikian pula penggundulan hutan yang menyebabkan tanah longsor dan banjir. Kearifan lokal memberikan pemahaman bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa hutan. Hutan yang dipenuhi jalinan akar pepohonan membantu mengikat tanah dan menyimpan air. Dedaunan, ranting dan hewan mati membentuk lapisan tanah yang subur. Keaneka ragaman hayati tidak saja memberikan kekayaan alam tetapi juga pasokan oksigen. Hutan membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyerap karbondioksida dari atmosfer. Karena pembuangan karbondioksida ke atmosfer menyebabkan perubahan iklim melalui pemanasan global.

Sehingga ketika pepohonan ditebang demi alih fungsi sebagai lahan pertanian atau hutan tanaman industri dan di kawasan tertentu berubah menjadi perumahan mewah, maka pelan tapi pasti, kawasan tersebut bakalan longsor. Jika hujan besar, lapisan tanah yang subur pasti hilang tak berbekas. Kerugian tidak sekedar harta dan nyawa tetapi juga kekayaan alam milik generasi penerus. Alih fungsi lahan juga menyebabkan uap air yang masuk ke atmosfer akan semakin berkurang, otomatis hujan yang diturunkan turut berkurang sehingga terjadi krisis air dan kekeringan.

Oleh karena itu sungguh tidak masuk akal ucapan seorang pengusaha dalam acara bincang-bincang di televisi yang menentang moratorium hutan. Dia berkata mengapa kita harus menurut didikte negara asing? Bukankah alih fungsi hutan menjadi perkebunan diperlukan karena rakyat kita masih miskin?

Sementara perwakilan pelaku usaha kelapa sawit memrotes moratorium hutan dengan alasan bahwa melambatnya pembukaan  lahan  sawit hingga 50 %, berakibat hilangnya potential loss penyerapan tenaga kerja sebanyak 120 ribu orang di industri sawit.

Penyerapan tenaga kerja tentunya diartikan pengurangan tingkat kemiskinan. Pertanyaannya adalah sejauh mana dampak alih fungsi lahan? Karena jika menyimak grafik berikut, tidak ada perubahan signifikan selama masa kejayaan Indonesia mengekspor crude palm oil (CPO), hasil olahan kelapa sawit. Padahal Indonesia merupakan produsen CPO utama dunia dengan total produksi 25,2 juta ton pertahun dengan cakupan lahan sawit versi pemerintah seluas 9,4 juta hektar sedangkan data Sawit Watch 12 juta hektar.

 

[caption id="attachment_252463" align="aligncenter" width="636" caption="dok. Arief Anshory Yusuf (Unpad)"]

13648813061330483502
13648813061330483502
[/caption]

Masalah lainnya yang diabaikan tetapi justru terpenting adalah hilangnya kehidupan yang berkelanjutan bersama punahnya keaneka ragaman hayati yang dimiliki hutan. Alih fungsi lahan jelas telah menurunkan kualitas hutan. Saat ini Indonesia ‘hanya’ memiliki 64,2 juta hektar hutan primer, 24,5 juta hektar lahan gambut, serta 36,6 juta hektar hutan sekunder. Pemerintah mempersilakan para pengusaha, termasuk pengusaha kelapa sawit, untuk memanfaatkan hutan sekunder sebagai lahan sawit.

Mengapa ‘hanya’? Karena jika kita melihat peta hutan Aceh sebagai contoh maka akan terlihat betapa banyaknya kawasan hutan yang hilang. Tragedi tersebut terjadi juga terjadi di provinsi-provinsi yang lain dan dipulau-pulau yang lain pula.

 

[caption id="attachment_252465" align="aligncenter" width="404" caption="hutan Aceh (dok. YPBB)"]

13648819241502078097
13648819241502078097
[/caption]

Sehingga ketika moratorium hutan diberlakukan dan ternyata mendapat tentangan dari kalangan pengusaha, sudah seharusnya pemerintah bersikap tegas. Moratorium semestinya dilihat sebagai alat, bukan tujuan, guna menetapkan keadaan yang memungkinkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Mubariq Ahmad dari Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ merekomendasikan, perpanjangan moratorium dua tahun lagi. Karena sebelum moratorium terdapat 15 lembaga yang memberi izin HGU dengan peta berbeda sehingga harus dibuat satu map (one map) dan melembagakan system tata kelola baru pemberian izin yang memiliki fungsi pengawasan.

Tidak mudah, tetapi harus dilakukan karena berbagai kesimpangsiuran tersebut menimbulkan masalah, seperti kasus pemberian izin kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Indragiri Hilir. Sungguh aneh, bagaimana mungkin muncul HGU untuk Taman Nasional yang begitu jelas peruntukannya sebagai area perlindungan bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan termasuk diantaranya spesies yang terancam punah. Karena sesungguhnya Indonesia membutuhkan lebih banyak Taman Nasional semacam itu.

Lebih lanjut Mubariq mengatakan bahwa dia tidak anti alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit karena terbukti memberikan lapangan kerja dan pendapatan Negara. Tapi dia menduga kuat adanya kepentingan perusahaan mengumpulkan lahan sebanyak-banyaknya (land banking). “Berapa banyak lahan tidur sawit, berapa harga sawit sekarang? Apakah benar, kebun sawit masih perlu mencari lahan-lahan baru?”

“Sekarang ini, masih ada sekitar 4 juta hektar lahan sawit yang belum ditanami. Jika lahan itu ditanam secepat-cepatnya, 10 tahun lagi juga belum selesai. Sehingga tidak ada alasan pertumbuhan sawit terhambat moratorium. Ditambah beberapa tahun pun tak akan terhambat.” lanjutnya.

Dilain pihak Abetnego Tarigan, Direktur Nasional Walhi menyarankan perlu ada Undang-undang tentang penanggulangan perubahan iklim nasional. UU yang berisi penetapan target penurunan emisi nasional dan mengatur upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Karena dikhawatirkan kesimpangsiuran intervensi terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan berdampak pada keputusan-keputusan pemerintah yang ambigu. Kondisi ini, akan mempertajam berbagai ego sektoral yang menyebabkan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tak efektif.

Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dengan komprominya, Walhi dengan solusi jangka panjangnya berusaha mengambil jalan tengah pergulatan antara emosi kekinian dan keberlanjutan lingkungan bagi generasi yang akan datang.

Generasi yang akan datang membutuhkan kelestarian hutan agar terjaminnya penghidupan yang berkelanjutan. Chamber R dan G. Conway menyebutkan bahwa penghidupan berkelanjutan adalah penghidupan yang memampukan orang/masyarakat untuk menghadapi dan pulih dari tekanan/guncangan, memampukan orang/masyarakat untuk mengelola sumber daya untuk kesejahteraannya saat ini maupun masyarakat pada kehidupan dimasa mendatang, serta tidak menurunkan kualitas sumber daya alam yang ada.

Sehingga esensi permasalahan yang harus dijawab dari semua argumen adalah sanggupkah kita memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan? Tegakah kita berkata bahwa cara keluar dari kemiskinan generasi sekarang adalah dengan membiarkan generasi mendatang ‘sekarat’? Kita dan generasi mendatang memiliki 3 kebutuhan dasar yang sama: pangan, air dan oksigen. Dan ketiganya tidak akan terpenuhi jika hutan punah. Betapa kearifan lokal telah mengajarkan:

Leuweung Ruksak, Cai Beak, Manusa Balangsak... No Forest, No Water, No Future...

Jadi moratorium hutan bukan sekedar komitmen presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono untuk menurunkan emisi hingga 26 %, persoalan ini menyangkut masa depan generasi penerus, karena kita hanya meminjam hutan milik mereka.

***Maria G. Soemitro***

Sumber:

Hutanindonesia.com

Kompas.com

Sawitindonesia.com

Green Economy – Arief Anshory Yusuf

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun