Mohon tunggu...
Maria Fillieta Kusumantara
Maria Fillieta Kusumantara Mohon Tunggu... Administrasi - S1 Akuntansi Atma Jaya

Music Addict. Writer. Content creator

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Inikah Wajah Demokrasi Pers Kita?

26 September 2019   10:33 Diperbarui: 27 September 2019   09:39 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Antaranews/Istimewa

RKUHP dinilai receh bahkan cacat logika oleh sebagian besar masyarakat. Tak hanya itu, revisi UU KPK juga meledakkan amarah masyarakat karena dianggap dapat membuat koruptor melenggang dengan nyamannya. 

Demonstrasi penolakan pun bergulir sejak siang hingga malam, dari segala penjuru Indonesia khususnya Jakarta sebagai rumah para anggota parlemen. 

Tapi, sungguh miris melihat banyaknya jurnalis yang meliput harus rela dipukul dan diintimidasi oleh oknum polisi bahkan juga massa pendemo saat meliput aksi di depan gedung DPR. 

Para jurnalis tak berdosa ini juga diminta menghapus foto/video yang mereka ambil dan rekam secara paksa meskipun mereka telah menunjukkan identitas resmi sebagai jurnalis.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1), (2), (3) menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 

Menurut kacamata saya berdasarkan UU tersebut, pers seharusnya berhak penuh untuk mengambil foto/video demonstrasi yang berujung rusuh tersebut. 

Selain untuk informasi kepada masyarakat, dapat pula sebagai pembelajaran dalam pemerintahan dan hukum untuk selalu mendengarkan aspirasi masyarakat bagaimanapun cara menyampaikannya, walaupun cara rusuh seperti kemarin sangat tidak dapat dibenarkan.

Siapapun orangnya, entah dia pejabat ekselon, anggota militer, polisi, bahkan rakyat jelata tak berhak melarang para jurnalis menjalankan tugasnya. Ancamannya? Penjara 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta tak pandang bulu.

Namun mengapa hal ini masih berulang kali terjadi? Tidak hanya ketika rezim (Alm.) Soeharto, bahkan hingga kini, di era reformasi sekaligus era demokrasi yang katanya modern. 

Beruntung saja sekarang tidak sampai ada pembredelan media massa atau istilah zaman sekarangnya pemblokiran situs media online.

Inikah wajah demokrasi pers kita sesungguhnya? Inikah wajah demokrasi pers yang kita tunjukkan kepada dunia? Biar apa? Biar keren? Biar viral seperti yang dikatakan tetangga sebelah?

Ini sudah bukan viral yang bermartabat dan berkualitas lagi, sudah tidak layak diviralkan. Mari kita wujudkan demokrasi pers yang sesungguhnya. 

Dukung mereka bekerja dengan lebih baik, lebih leluasa dan aman. Dengan begitu, kita juga tak akan biarkan cita-cita anak-anak menjadi jurnalis atau bekerja di media pupus begitu saja hanya karena perbuatan kita yang kelewat batas. 

Toh buah dari kerja keras mereka kita juga yang menikmati. Seperti contohnya kita jadi tahu siapa calon presiden beserta latar belakang mereka yang bisa jadi acuan kita sebelum coblos surat suara, ya kan?

Salam dari anak bangsa yang peduli kebebasan pers Indonesia.

Sumber: 1, 2, dan 3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun