Mohon tunggu...
@mar.dov
@mar.dov Mohon Tunggu... Lainnya - Juru ketik

Mengetik untuk menggelitik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebabnya Kami Berkerudung

31 Januari 2021   08:14 Diperbarui: 31 Januari 2021   21:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Minangkabau tahun 1890 oleh Nieuwenhuis, C. di bawah lisensi CC  4.0

Saya ingat betul, 3 tahun selepas Reformasi, saya baru duduk di SMA kelas 1. Sekolah saya yang berstatus SMA negeri di salah satu kota di Sumatera Barat mengeluarkan himbauan agar para siswi memakai baju kurung dan berkerudung. Meski sifatnya baru berupa ajakan namun sudah banyak yang langsung mengikuti tata cara berpakaian terbaru ini. Tinggal segelintir anak saja yang belum, termasuk saya. 

Di tahun pertama itu kelas kami belang-belang. Ada anak-anak yang berpakaian serba tertutup, ada pula yang masih berpakaian 'ngatung'. Di masa itu, berjilbab masih belum jamak di kalangan remaja. Jilbab kemudian sering diasosikan sebagai kuno, tidak modern dan pakaian untuk 'emak-emak'. Tadinya saya tergolong penganut paham ini.

Tahun kedua, SMA kelas 2, yang tadi bersifat himbauan naik tingkat jadi peraturan. Akhirnya, mau tidak mau, dengan hati antara rela dan tak rela, saya pun berkerudunglah. Toh ini adalah peraturan sekolah, tidak bermaksud mencelakakan, hanya saja kurang kelihatan trendy dan gaul. (Untuk teman kami yang mempunyai keyakinan dan agama berbeda mereka ikut menyesuaikan dengan berbaju kurung dan tanpa kerudung.) 

Karena namanya peraturan sekolah, jilbab hanya dipandang sebatas itu bagi sebagian dari kami. Sebagai bagian dari seragam, maka status jilbab tidak lebih dari sekadar asesoris. Karenanya tidak heran apabila jilbab tidak lantas kami adopsi menjadi pakaian sehari-hari, atau pakaian yang akan kami pakai di luar kegiatan sekolah. Ketika bepergian ke tempat lain: pasar, jalan-jalan dan sebagainya, kami bebas sesuka hati. Jikapun ada yang tetap berkerudung di luar sekolah, itu berbalik pada keinginan pribadi.

Jilbab punya sejarah pemaknaan yang panjang. Di suatu ketika ia dianggap sebagai lambang perlawanan hingga di masa Orde Baru ekspresi keagamaan serupa jilbab diharamkan. Baru selepas Reformasi, apa-apa yang tadinya direpresi menjadi hal-hal yang diselebrasi. Dan dalam konteks sekolah saya, dan mungkin juga sekolah-sekolah lain di ranah minang, selebrasi itu berupa kembali ke adat, kembali ke syarak. Atau dalam ungkapan adatnya: "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah." 

Jilbab kemudian bukan lagi ekspresi kesalihan, atau simbolisasi orang yang sudah 'hijrah'. Jilbab merupakan bagian dari peraturan berbusana, dress code, yang ditempatkan sama seperti halnya, misal atribut dan seragam loreng bagi para tentara. Jilbab adalah ekspresi ke-Islam-an dan ke-Minang-an yang hendak dikuatkan di pasca Reformasi. Jilbab adalah bagian dari identitas kami sebagai orang Minang yang juga Islam. (Tapi tentu, ekspresi identitas ini tidak sebanding lurus dengan keimanan atau pengetahuan akan ke-Islam-an itu sendiri.)  

Kenapa berjilbab ini menjadi penting? Di masa Orde Baru, kami di daerah cenderung mengikuti apa-apa yang sudah digariskan di pusat. Baru ketika Reformasi kami punya kesempatan untuk mencari, menggali dan mengidentifikasi: siapa kami? Apa yang kami inginkan? Dan, apa yang menjadi ciri dan identitas budaya kami? Jika di masa Orde Baru pakaian sekolah itu diseragamkan semua oleh orang-orang di Jakarta, selepas Orde Baru jatuh, seragam mempunyai ciri kedaerahan dan lokalitas. Dan lokalitas yang dimunculkan bagi sekolah-sekolah kami di ranah minang yakni jilbab. 

Mungkin ada juga yang bertanya, kenapa seragam diatur-atur? Semuanya berbalik lagi pada nilai apa yang dianggap penting bagi suatu sekolah. Di beberapa sekolah swasta yang percaya pada kebebasan ekspresi dan keunikan masing-masing individu, maka seragam menjadi hal yang tidak wajib. Sementara di kebanyakan sekolah negeri, nilai yang dijunjung tinggi bukan pada kebebasan berekspresi, melainkan lebih pada keseragaman dan harmonisasi. Keseragaman ini dituntut di banyak hal, meliputi: pakaian, kaus kaki, warna atau model sepatu, potongan atau cara mengikat rambut, dll. Meski pendekatan yang dipakai sekolah bisa jadi berbeda, namun saya kira tujuannya masih sama: sama-sama mendidik dan sama-sama mengharapkan masa depan bangsa yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun