Mohon tunggu...
Maria Anindita Nareswari
Maria Anindita Nareswari Mohon Tunggu... -

http://mariaaninditanareswari.blogspot.com/ https://twitter.com/EsiMaria https://www.iom.int/sites/default/files/country/docs/indonesia/Human-Trafficking-Forced-Labour-and-Fisheries-Crime-in-the-Indonesian-Fishing-Industry-IOM.pdf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Ketika Hukuman Mati Menjadi Solusi, Apa Benar Memberi Solusi?”

14 Oktober 2015   07:49 Diperbarui: 14 Oktober 2015   07:49 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lalu sebenarnya apa tujuan eksekusi ini jika agar ada balasan yang setimpal? Apakah tujuannya untuk membalas dendam? Pemberlakuan pidana mati jika hanya mengarah pada aspek balas dendam (retributive), hal ini bertentangan dengan semangat arah penegakan hukum pidana kita yang mengarah pada keadilan restoratif (restorative justice). Hal ini menjadi kontroversi  dimana keadilan “gigi ganti gigi dan mata ganti mata” menghukum orang sesuai perbuatannya, tidak kurang dan tidak lebih, tidak selaras dengan semangat restorative justice yang menjadi semangat penegakan hukum pidana negara kita. Hukum sejak 3000 tahun lalu itu jika diterapkan bangsa kita seolah membuat bangsa kita menjadi negeri yang barbar, dan tidak sejalan dengan sila dalam dasar negara kita “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pembelaannya semua telah dilakukan melalui proses dan keputusan hukum yang adil dan benar.

Di sisi lain, kalau memang kebijakan eksekusi mati ini tujuannya membuat efek jera itu sendiri, seharusnya yang dikenakan adalah bandar besar dan berbahaya contoh kasus seperti Freddy Budiman, bukan kaki tangan, sekedar pembawa dan bukan aktor utama termasuk di dalamnya Mary Jane, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran. Pada akhirnya, keadilan akan selalu relatif, tergantung pada subjeknya. Adil buat satu orang belum tentu memberi keadilan pada yang lain.  

Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar menyatakan bahwa tidak pernah ada penelitian yang membuktikan bahwa hukuman mati bagi terpidana narkoba bisa memberi efek jera. Survey komprehensif dari PBB tahun 1998 juga menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup.

 

Katekismus Gereja Katolik dan Evangelium Vitae

Gereja Katolik sejatinya tidak mendukung hukuman mati. Dalam Katekismus Gereja Katolik KGK 2266 tertulis bahwa: “Pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius …” Artinya, hukuman ini diperbolehkan, hanya saja hukuman mati dapat diberlakukan dalam kasus-kasus yang tingkat kejahatannya “tinggi”. KGK 2267 mendukung bahwa apabila terdapat cara yang lebih menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, cara-cara lain akan dipilih. Maka, bagi penulis, aktor utama narkotika, atau koruptor kelas tinggi bisa jadi adil jika dijatuhkan hukuman mati. Tapi jika ada jalan lain yang lebih manusiawi yang ditempuh, hukuman mati bukanlah pilihan.Terlebih jika tujuan hukuman mati ini hanya untuk melampiaskan dendam. KGK yang diambil dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II Evangelium Vitae menambahkan bahwa jenis dan tingkat hukuman harus dengan hati-hati dievaluasi dan diputuskan, dan tidak boleh dilaksanakan sampai ekstrim dengan pembunuhan narapidana, kecuali dalam kasus keharusan yang absolut, ketika sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan hal lain untuk membela masyarakat luas.

Penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih atau diskriminatif. Mereka yang punya kekuasaan atau dekat dengan penguasa mendapat perlindungan dan tidak dilanjutkan kasusnya. Orang lanjut usia dihukum begitu mengenaskan, sementara koruptor mendapat hukuman ringan. Jika masih ada ketidak adilan ini, bagaimana mungkin eksekusi mati dilakukan oleh mereka tanpa proses peradilan yang kita tidak bisa jamin kebenarannya. Pada akhirnya, kebenaran itu relatif. Begitu juga dengan keadilan.

Hukuman mati harus dijalankan tanpa ingin membalas dendam, tapi memang dijalankan apabila seluruh proses sudah dipenuhi tanpa kurang suatu apapun. Tapi sesempurna apapun proses itu, manusia tak luput dari kesalahan. Jangan menyamakan persepsi memusnahkan narkoba dengan membunuh. Maka, bagi penulis sendiri, negara tidak memiliki hak untuk membenarkan pembunuhan terhadap seseorang. Persoalan hukuman mati adalah hak Tuhan, bukan manusia apalagi negara.

Apakah proses hukum juga telah memenuhi asas yang menjadi tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian hukum, kemanfaatan, perlindungan hukum? Mungkin di satu sisi kepastian hukum terpenuhi, tapi apakah bermanfaat dan melindungi? Tanpa moral, hukum akan menjadi alat yang mengatur tanpa melihat sisi keadilan. Sekalipun filsuf Hartmemandang perlu ada pemisahan hukum dan moralitas yang menjadi kekhasan posisi positivisme hukum, berlawan dengan Dwonkin mengkritik Hart karena konsep hukum Hart tidak memasukkan prinsip-prinsip moral yang biasanya digunakan hakim dalam proses pengadilan sebagai bagian dari hukum.  Hal ini menetapkan pentingnya prinsip-prinsip moral dalam keputusan hukum. Prinsip-prinsip moral berkaitan dengan hak-hak individu.

Romo Frans Magniz Suseno, guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dalam opininya di harian Kompas tentang hukuman mati, mengatakan membunuh orang kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu. “Vox populi vox Dei “, yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan, tidak dapat dijadikan pembenaran. Suara rakyat yang hanya ingin balas dendam dan kebencian bukanlah suara Tuhan. Suara rakyat luas tidak selalu perbuatan yang benar dan tidak jahat.

Jaksa Agung sekarang tengah mengevaluasi gelombang eksekusi hukuman mati yang sudah berjalan terhadap  para terpidana. Jadwal ekskusi jilid III belum keluar, namun cepat atau lambat proses hukum akan berjalan. Negara perlu berbenah terutama dalam menerapkan sanksi pidana, seringkali hanya dipukul sama rata baik untuk hukuman mati, penjara atau denda, malas untuk melihat pada tiap kasus ada fakta yang mungkin berbeda dari kasus sebelumnya. Fakta yang sering terombang-ambing, rancu ditambah lagi proses Peninjauan Kembali yang membuat ragu Kejaksaan yang akan mengeksekusi pidana mati beberapa waktu silam. Keraguan itu dipicu karena Kejaksaan takut perkaranya ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Penegak hukumnya saja ragu dengan sistem yang mereka jalankan, apalagi masyarakat yang hanya bisa menyaksikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun