Mohon tunggu...
Maria Yohana Kristyadewi
Maria Yohana Kristyadewi Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Hukum dan Perpajakan

Tulisan layaknya petunjuk pertama untuk menguak misteri lebih besar yang terkandung dalam alam pikiran manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Limbah Indolensi

2 April 2018   17:02 Diperbarui: 2 April 2018   17:28 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah  (Koentjaraningrat)

Dalam buku bertajuk 'Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan', Koentjaraningrat merinci lima hal yang menjadi kelemahan manusia Indonesia. Antara lain, sifat yang meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas dan sifat tak percaya kepada diri sendiri. Kelemahan mentalitas manusia Indonesia lainnya adalah sifat tak berdisiplin murni dan mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.

Pendapat bapak antropologi Indonesia ini disokong teori ciri manusia Indonesia yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis. Jurnalis kelahiran Padang ini menyatakan manusia Indonesia memiliki sifat hipokrit atau munafik. Enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, berjiwa feodal, percaya takhayul dan berwatak lemah adalah ciri yang melekat dalam darah pribumi.

Ironis, ketika cendekiawan yang menyandang kebangsaan Indonesia malah menyatakan manusia Indonesia beradabiah lemah. Namun, apa mau disangkal? Itulah potret realitas pahit sebagai manusia Indonesia. Momok bernama kelemahan mentalitas menjadi musuh utama yang menggerogoti nadi bangsa. Kelemahan mentalitas inilah yang menyuburkan benih-benih indolensi, deteriorasi mental, serta arogansi sosial. Bibit-bibit ini tumbuh, berkembang dan perlahan merontokkan kemajuan sekaligus rasa kesatuan bangsa Indonesia.

Mentalitas manusia Indonesia yang suka menerabas contohnya, Koentjaraningrat mengemukakan teori itu karena ia sering menjumpai perilaku masyarakat Indonesia yang suka menerabas, mulai dari menerabas jalan sampai menerabas aturan-aturan sosial. Mental menerabas adalah nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak berusaha secara bertahap dari awal hingga akhir. Sikap mental ini diikuti pula oleh sifat-sifat buruk lainnya, seperti tidak berdisiplin, suka mengabaikan tugas yang diberikan, dan meremehkan kualitas serta tidak peduli pada aturan-aturan yang berlaku. Sungguh watak khas yang sangat Indonesia.

Watak "Jalan Pintas"

Mentalitas suka menerabas sering diidentikkan dengan watak "jalan pintas". Manusia yang suka mengambil jalan pintas, kadang mengabaikan semua aturan yang berlaku, agar tujuannya dapat tercapai. Baginya tidak perlu proses, yang penting adalah hasil. Jika proses dinilai terlalu panjang untuk mencapai hasil, maka proses itu dapat dipintas, sehingga menghemat tenaga, pikiran dan biaya. Orientasi lebih ke hasil inilah yang menyebabkan sikap malas bekerja keras dan memunculkan hobi mencari jalan pintas yang instan dan serba cepat. Manusia melihat kesuksesan orang lain hanya dari sisi apa yang dicapainya, bukan dari proses panjang "bagaimana" ia bisa mencapai kesuksesan tersebut. Hasil yang dituju yang dinomorsatukan, proses untuk mencapainya tak dinilai.

Kemalasan inilah yang menjadi momok baru bagi kehidupan manusia Indonesia. Manusia jadi malas melakukan berbagai hal, malas bergerak, malas bersosialisasi bahkan malas untuk berpikir. Manusia Indonesia kini malas berlogika dan memilih kenikmatan pintas, padahal eksistensi manusia terbentuk karena buah pikirannya. Manusia ada karena ia berpikir, memanfaatkan akal pikirannya, dan beradu logika. Adagium kebesaran sang filsuf Prancis, Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada, seakan hanyalah isapan jempol.

Manusia masa kini enggan berpikir lama. Insan malas mempertanyakan, karena menganggap jawaban telah disediakan. Bukan oleh kehidupan atau pengalaman persona, namun jawaban ini telah "tertemukan" dari media sosial dan jagat maya. Untuk apa berpikir lama? toh manusia telah dibuai kemapanan teknologi. Dimanjakan dengan keberadaan gawai, alat elektronik dan komunikasi modern yang makin canggih. Hanya dengan sekali sentuh pada perangkat gawai, segala hal yang kita cari, tertemukan jawabannya. Mulai dari pangan, zona, wahana, mata pencaharian hingga kawan hidup dapat dicari di jagat maya.

Salahkah manusia untuk menikmati segala kemudahan ini? Tentu tidak.

Manusia Tak Pernah Salah, Hanya Keliru Berbuat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun