Indikasi tidak netralnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditunjukkan pada kandidat calon dan wakil presiden tertentu. Bahkan tindakan mereka bisa mengarah pada kedzaliman.
Hal itu terlihat ketika Bawaslu melarang KH. Ma'ruf Amin untuk berkunjung ke sejumlah pondok pesantren. Alasannya itu dianggap sebagai bagian dari kampanye.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan pasangan calon diperbolehkan berkunjung ke pesantren selama memenuhi sejumlah syarat. Syarat pertama, tidak boleh ada unsur kampanye. Kedua, ada undangannya. Dan ketiga tidak boleh ada atribut kampanye.
Larangan itu dikeluarkan ketika KH. Ma'ruf Amin akan bersilaturahmi ke pondok pesantren Pandanaran di Kab. Sleman, DIY.
Tentu saja larangan Bawaslu ini terasa sangat aneh. Sebab cenderung pilih kasih ketika Sandiaga Uno juga melakukan kunjungan ke sejumlah pesantren.
Ketika itu Sandiaga hanya didiamkan saja oleh Bawaslu. Bahkan saat Sandiaga berkunjung ke institusi pendidikan formal sekalipun.
Sedangkan, respon berbeda ditunjukkan ketika hal yang sama dilakukan oleh KH. Ma'ruf Amin. Ia justru dilarang oleh Bawaslu dengan dalih kampanye.
Hal ini dicurigai merupakan bentuk kedzaliman yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu yang harusnya netral. Bawaslu harusnya bisa bersikap obyektif dan adil dalam menilai kasus seperti ini.
Bila berkunjung ke pesantren itu dilarang harusnya itu berlaku untuk semuanya, termasuk kepada Sandiaga. Bukan pilih kasih hanya kepada Kiai Amin saja.
Bawaslu juga harusnya melihat kunjungan ke pesantren itu darinsudut pandang konten, bukan hanya sekadar aktivitas. Karena tidak semua kunjungan ke pesantren itu pasti berkampanye.
Apalagi secara sosial, Ma'ruf Amin ini adalah seorang Kiai, maka sangat wajar bila dirinya berkunjung ke pesantren dan bersilaturahmi dengan sesama Kiai.