Mohon tunggu...
Marhamah Alwan
Marhamah Alwan Mohon Tunggu... Guru - Pemelajar sepanjang hayat

Ibu rumah tangga yang suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dapur Kampung dan Matematika, Linierkah?

17 November 2022   09:07 Diperbarui: 17 November 2022   09:16 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tulisan ini saya angkat, berdasarkan kisah seorang tukang pijit, sebut saja namanya Bu Joh. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang menyambi menjadi seorang tukang pijit jika ada yang minta dipijit, itupun hanya kadang kadang saja. Sedangkan suaminya hanyalah seorang kuli panggul di sebuah toko bangunan, yang katanya semenjak pandemi covid 19, hanya keluar selama tiga kali dalam seminggu, dengan penghasilan tiga ratus ribu rupiah. 

Sepasang suami istri ini di karuniai tiga orang putra, yang sulung baru tamat Sekolah Menengah ATas di salah satu Pondok Pesantren, sedang yang menengah masih menempuh pendidikan di salah satu Pondok Pesantren yang ada di Lombok Barat, tepatnya di Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri, dan yang terakhir masih menempuh pendidikan di sekolah dasar, dan saat ini sedang duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Lantas, apa hubungan keluarga ini dengan judul tulisan diatas ? Dapur adalah salah satu bagian yang terpenting dalam design sebuah rumah, karena dapur adalah jantung dari rumah tangga, jika jantung tidak berdenyut, itu menandakan adanya kematian,demikian pula adanya dengan dapur, jika dapur tidak mengepulkann asap akan bisa di katakan keadaan rumah tangga sedang tidak baik baik saja. Apakah kalimat itu benar?

Seringkali akal sehat kita mengkorelasikan adanya asap dapur dengan nominal dan angka angka matematika yang rasional, karena dapur yang mengepul berarti ada angka angka dan nominal yang terlibat signifikan dengan kondisi tersebut dan hal ini disetujui oleh sebagian besar kita tampa adanya bantahan.

Namun jika kita kembali pada situasi riil keluarga Bu Joh dengan pendapatan yang hanya tigaratus ribu rupiah perminggunya, atau jika kita kalkulasikan berarti hanya satu juta dua ratus ribu rupiah perbulannya, itupun jika Bos tempat beliau bekerja menelponnya karena banyak pesanan besi  bangunan yang masuk, jadi angka  tersebut tidak pasti masuk di kantong keuangan mereka. 

Namun jika kita asumsikan pendapatan suami Bu Joh memang sesuai dengan angka angka tersebut, impas dengan kebutuhan makan empat anggota keluarganya di rumah, jika perhari setiap orang  membutuhkan biaya makan sepuluh ribu rupiah perharinya, hal ini tidak termasuk dengan uang saku si bungsu dan uang pondok serta uang makan anak keduannya. Sungguh ilmu matematika yang saya pelajari tidak berlaku di sini dan membuatku sangat heran dan takjub, Bagaimana bisa Bu ?" Tanyaku keheranan, Beliau hanya tersenyum sambil berkata, " Rizki sudah ada yang ngatur,Bu, yang penting kita sudah berusaha mencarinya, selalu ikhlas dan rajin berdo'a, tentu pas kita butuhkan, Tuhan akan kirimkan cara dan selalu seperti itu, " Pungkasnya tersenyum melihatku begitu keheranandan takjub dengan kenyataan hidupnya.

Kenyataan hidup dan kondisi keluarga Bu Joh, membuatku berfikir ulang, ternyata tidak selamanya dapur itu identik dan linier dengan angka angka matematika, terutama dapur dapur di kampung yang tetap bisa mengepul walau deretan angka dan nominal tidak turut mengiringi. Keikhlasan dan rancangan skala prioritas menjadi kunci keberhasilan dapur dapur kampung mampu untuk selalu menghangatkan setiap anggota keluarga mereka. Wallohu'alam bishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun