Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan Maha Rileks

4 April 2017   08:49 Diperbarui: 4 April 2017   21:08 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

           Saya percaya bahwa persepsi manusia tentang Tuhan akan berpengaruh terhadap cara beragama orang tersebut. Misalnya, jika ia dominan mempersepsikan Tuhan sebagai Maha Perkasa maka bisa jadi ia akan lebih fundamentalis, dan pandangannya terhadap liyan (the others) cenderung hitam-putih lengkap dengan stigma dikotomis, misalnya  muslim vis a vis kafir, atau beriman vis a vis munafik. Wilayah politikpun akan dibelah, wilayah eukemene versus wilayah biadab, darul islam versus darul harb  dan seterusnya. Untuk melengkapi sifat “Kemahaperkasaan,” maka Tuhan dalam persepsi orang ini akan disemati sifat adil, tegas, dingin,  maha penghukum dan sederet sifat maskulin lannya. Umat beragama yang dipenuhi sikap ini akan punya jargon perjuangan yang kira-kira, menurut idiom islam, amar makruf nahi munkar, yang akan cenderung mudah menyalahkan amalan orang lain yang berbeda. Ibadah yang ia lakukan akan dilandasi sifat ketakutan pada Tuhan. Merekapun takut jika celananya tidak cingkrang, misalnya.

          Sebaliknya, jika persepsi tentang Tuhan lebih dominan pada sifat Maha Pengampun maka ia akan cenderung bisa lebih akomodatif terhadap liyan, tanpa harus kehilangan jatidiri. Karena baginya Tuhan  maha pengampun, maka kelompok ini  akan lebih welas asih terhadap perbedaan. Bagi golongan ini, label kafir, munafik, musuh agama, anti kristus selalu bisa mengalami redefinisi. Munculah pemahaman agama yang moderat dan toleran terhadap perbedaan. Bagi golongan ini, Tuhan bukanlah oknum pemegang cambuk yang  menuntut terlalu banyak pada hamba. Justru sifat maha pengampun, maha pengasih, dan sifat feminin lainnya akan membuat Tuhan terasa lebih intim dan dekat, lebih dekat dari urat nadinya.  Tuhanpun tidak tabu jika dijadikan bahan guyonan sembari minum kopi dan udud. Tuhan Maha Rileks. Karena Tuhan itu maha rileks maka tidak mengenal musuh. Semua berpeluang masuk surga.

          Kalau anda ingin membuktikan bahwa Tuhan itu maha rileks, datanglah ke pengajian Nahdlatul Ulama (NU). Pengajiannya selalu segar, tidak berat, tapi makjleb. Bahasan yang beratpun tidak jarang diselingi humor. Kyainya  juga lucu-lucu. Biasanya orang lucu kecerdasannya memang diatas rata-rata. Dan puncak lucu tersebut tentunya Gusdur. Selesai pengajian banyak yang cangkrukan, minum kopi, merokok dan main gaple. Karena cara beragama yang tidak kaku mereka tidak alergi terhadap kebudayaan. Jika ada perilaku maksiat mereka tidak ujug-ujug menunjukkan “Kemahaperkasaan Tuhan” dengan mengeluarkan fentungan, tetapi cenderung menyerahkan kepada sang takdir atau cenderung filosofis. “Pantat Inul adalah wajah kita semua.” Tuhan oleh kelompok ini sepertinya mudah diajak berdamai untuk menikmati kehidupan, perbedaan, keseronokan, kerumitan bahkan kemiskinan. Ibarat kata NU tidak mengenal musuh.

          Berbeda jika anda menghadiri pengajian Muhammadiyah. Pengajian mereka cenderung kaku, ilmiah tetapi heroik. Agama dijadikan instrument untuk memperbaiki dunia dengan pendidikan, perdagangan bahkan politik. Muhammadiyah itu terlalu serius dalam beragama, sehingga justru lupa akan spontanitas manusia. Jarang ketawa. Tegang mulu. Takut Tuhan marah. Untunglah Muhammadiyah lahir di pusat kebudayaan Jawa, sehingga terbawa kultur menjadi moderat. Ini bisa dilihat dari sosok Pak AR Fachrudin yang njawani. Mungkin beliaulah satu-satunya Ketua Umum Muhammadiyah yang lucu.  Bagi saya Amien Rais itu dulunya lucu. Saya pernah membaca artikel beliau, “kancil pilek,” lucu itu. Tetapi sekarang pak Amien tidak lucu. Beliau serius mulu, banyak musuh atau bahkan cari musuh.

Lebih serem lagi jika anda menghadiri pengajian kelompok pro-khilafah (semisal HTI, MMI, FUI atau FPI). Pandangan mereka terhadap dunia begitu suram. Bagi mereka, dunia ini sudah tidak ada kebaikan sama sekali. Bobrok, amburadul, maksiat total. Kebaikan dan kebenaran hanya ada pada mereka. Diluar mereka akan mudah dicap liberal, kufar, antek asing, syiah, kapitalis, komunis gaya baru dan seterusnya. Kesuraman dunia ini menurutnya hanya bisa diubah dengan merombak system yang ada diganti dengan system khilafah atau setidaknya NKRI bersyariah. Narasi yang mereka munculkan dalam pengajian sering berisi perlawanan bahkan pemberontakan terhadap pemerintah yang menurutnya bersystem thogut bin kufar. Mereka anti demokrasi, tetapi sering menggunakan instrument demokrasi – seperti demo berjilid dan pemilu – untuk mencapai tujuan politiknya. Tuhan, oleh kelompok ini, akan diseret ke panggung-panggung untuk mendedahkan Kemahaperkasaan lengkap dengan cambuk hukuman. Jangan harap ada ceramah yang lucu dari mereka. Sebaliknya, anda akan diajak siap perang.

          Tetapi saya tidak akan membahas yang berat-berat, nggak sanggup, toh sudah ada pendekar-pendekar ilmu yang membahasnya, sebut misal Karen Armstrong atau Sachico Murata. Lagi pula kalau mau perang saya nggak mau cuma pakai pentungan. Nggak berkelas. Saya akan membahas yang enteng-enteng saja, yaitu mengapa NU lucu dan Muhammadiyah kaku. Atau jika anda Kristen maka akan muncul pertanyaan yang sama, mengapa Protestan lebih santai sedangkan Katholik lebih militan.

Namun ndilalah, saat saya search di internet untuk memperkaya narasi lucu vs kaku, saya menemukan tulisan Saudara Wildan Wahied, yang saya pikir gue banget. Ya, sudahlah, tumbu oleh tutup, maka saya persembahkan tulisan beliau sepenuhnya. Monggo :

         NU lucu dan Muhammadiyah tidak lucu, itu sudah jadi pemahaman umum. Cak Nun sudah pernah mengatakannya, kalau tidak salah di Slilit Sang Kyai (1991).

        Saya juga merasakan itu. Saya orang Muhammadiyah, tapi pernah akrab bergaul dengan anak-anak NU. Sering pula nongkrong dan cangkrukan dengan mereka, termasuk mendengarkan humor mereka.

         Humor anak-anak NU itu memang khas dan berkelas. Maksudnya, cita rasa humor mereka berbeda dengan yang lain, termasuk dari orang Muhammadiyah. Ditambah lagi, humornya bukan sekadar asal bikin ketawa, tapi juga menginspirasi.

         Mau tahu contohnya? Misalnya, jika ditanya kenapa santri dan kiai NU banyak yang merokok, dengan santai mereka beralasan menggunakan dalil, “Warqo’uu ma’a ar-roo’qi’iin.” Orang yang tidak paham mengira kalimat itu berasal dari hadis atau malah ayat. Padahal itu cuma kalimat bikinan sendiri dari ayat yang dipelesetkan. Artinya, “Merokoklah bersama orang-orang yang merokok.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun