Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banalitas Kejahatan, Dari Eichmaan, PNS, hingga Akhwat Berjilbab Pink

2 Juli 2018   08:45 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:31 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tetapi alangkah terkejutnya saya, manakala mendapati fakta di medsos bahwa penghina simbol Negara (baca: presiden) lebih banyak dilakukan oleh mereka yang mempunyai pemahaman agama yang cukup, bahkan bisa disebut sholeh menurut terminology islam. Beberapa situs islam (beberapa sudah diblokir), bahkan ustadz tertentu dengan gigih menyerang pemerintah dan presiden. Masyarakat yang lugu dan patuh, seperti patuhnya Eichmann, akan mendapat penguatan bahwa menghina pemerintah dan presiden itu boleh, biasa, bagian dari demokrasi. Karena dianggap biasa, dan telah dicontohkan oleh situs islam serta ustadz tertentu, akhirnya banalitas kejahatan muncul.

Gerangan apa ini? Ada beberapa alasan, pertama Jokowi merupakan kader PDIP, partai nasionalis garis keras, yang walaupun tidak terbukti anti islam tetapi agenda pembatasan Perda Syariah, penguatan pancasila, kebhinekaan dan pluralisme dianggap menghalangi formalisasi syariat islam. Apalagi dengan pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Jokowi akhirnya kena getahnya.

Kedua, memang ada anasir kebangkitan gerakan neo-darul islam (yang bisa jadi ditunggangi oleh kekuatan internasional).  Gerakan ini, walaupun berbeda metode, sebangun setujuan dengan ide khilafah yang dimotori oleh HTI. Gerakan ini menguat di era reformasi dan telah menyusup ke Kantor Pemerintah, BUMN/D dan kampus-kampus,  bahkan terang-terangan mengadakan konferensi khilafah di Gelora Bung Karno. Saya masih ingat akhwat berjilbab pink mengibarkan bendera HTI seraya mengutuk demokrasi. 

Akhwat lain berorasi, jangan pilih pemimpin kafir. Para akhwat yang lurus, lugu dan tidak menunjukkan adanya karakter kejam, tidak menyadari bahwa tindakan mereka berpotensi menimbulkan disintegrasi bahkan perang saudara. Sebagaimana Eichmann menganggap dirinya hanya menjalankan tugas dan hukum, akhwat jilbab pink juga berargumen yang setara bahwa ia hanya berdakwah.  

Yang lebih menyedihkan, PNS, yang telah disumpah membela NKRI berpancasila, bungkam dan pura-pura pilun manakala Pemerintah dan presidennya dicaci maki sedemikian rupa (tapi saat THR cair langsung sumringah). Bahkan saat pencaci ada yang tercyduk, mereka menganggap pemerintah sebagai diktator. Lalu sekonyong-konyong membandingkan dengan Erdogan yang katanya santun dan pro ulama. 

Tetapi Jokowi memang kepala batu. Berbekal dukungan kuat Nahdlatul Ulama (dan Muhammadiyah), akhirnya membubarkan HTI. Ini keberanian luar biasa mengingat simpatisan HTI telah cukup besar.  Survey Alvara Research Center tahun 2017 menemukan fakta sebagian generasi milenial setuju dengan konsep khilafah sebagai bentuk Negara. Mayoritas generasi milenial memang memilih NKRI, namun 17,8 persen mahasiwa dan 18,4 persen pelajar setuju dengan khilafah sebagai bentuk ideal (CNN Indonesia, akses tanggal 18 Juni 2018). 

Menristekdikti Mohamad Nasir mengungkapkan hasil riset bersama LIPI, UI dan sejumlah peneliti akhir tahun 2017, hasilnya 23 persen pelajar dan mahasiswa siap menegakkan khilafah (Liputan6.com, akses tanggal 18 Juni 2018). 

Survey SMRC yang dirilis 4 Juni 2017 menyebutkan bahwa 9,2 persen responden setuju NKRI diganti menjadi Negara khilafah (kompas.com, akses tanggal 18 Juni 2018). Memang hanya 9,2 persen, tetapi itu bisa sampai 20 juta penduduk, lebih banyak dari warga Singapura. Akhwat berjilbab pink pastilah masuk pro khilafah, walau saya berani jamin mereka mengenal khilafah hanya dari propaganda, bukan fakta. Hanya disodori yang bagus-bagus saja.

Dengan pendukung dan simpatisan yang telah begitu banyak maka mereka cukup berani menyuarakan ide khilafah. Dakwah khilafah akhirnya menjadi banal, menjadi biasa, walau jika dilihat  dari NKRI yang berpancasila maka dakwah khilafah adalah kejahatan. Kita pantas khawatir mengingat banalitas kejahatan atas nama doktrin agama (tentu dengan memelintir terlebih dahulu) akan jauh lebih militan. Sekali lagi, PNS, tampak menyedihkan, tersublimasi (terkaburkan), bingung karena telah terpapar propaganda bahwa khilafah itu ajaran islam dan nasionalisme tidak ada dalilnya (tapi kalau mau dicyduk baru nangis dan ngaku pancasilais).

Mas, mengapa kok sampeyan sebagai muslim tidak mendukung khilafah? bukankah NKRI, republik, demokrasi dan segala atributnya hanya ciptaan manusia, manusia kafir pula. Lain dengan khilafah yang merupakan bagian dari syariah. Nanti saat kita mati, bukan Pancasila yang jadi penolong, tetapi al-Quran. Begitu propaganda yang disodorkan pada kita. Sangat sugestif, menyentuh. Masyarakat yang jam terbangnya rendah akan mudah terbujuk.

Oke, sejujurnya saya bangga pada khilafah. Sistem ini pernah dipakai oleh umat islam ratusan tahun. Marshal Hogdson dalam the venture of Islam pernah menyebutkan bahwa khilafah adalah puncak dari peradaban di era tertentu (agraris). Siapa yang tidak bangga disebut puncak peradaban di era tertentu. Tetapi itu dulu, jaman berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun