Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Teuku Umar: Pahlawan Sejati atau Oportunis Zaman Perang?

25 Juni 2011   15:05 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:55 5152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.

Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.

Sejak 1891 perang Aceh memasuki babak baru, ditandai dengan peran Snouck Hoergronye, yang terkenal dengan rekomendasinya: agar dilakukan pengejaran tidak kenal ampun terhadap pejuang Aceh. Untuk itulah pasukan khusus marsose dibentuk.

Hasilnya jelas, pejuang Aceh mengalami tekanan hebat. Snouck dengan jeli juga menyimpulkan bahwa kekuatan utama perang Aceh ada pada ulama, bukan Sultan, bukan pula kaum ulee balang. Belanda mencoba mengadu domba antara golongan ulama dan ulee balang.

Hasilnya segera nampak, Aceh pecah. Harry Kawilarang, dengan merangkum berbagai sumber menjelaskan : “Pada tahun 1891, Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro wafat (diracun oleh anak buah sendiri-Pen)...Serangan gerilya oleh pasukan aceh berkurang. Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan. Begitu juga usaha Chik Kutakarang atau Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro. Semua dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil hingga timbul perpecahan” (Kawilarang, 2008 : 119). Siapakah pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil itu? Tidak lain ulee balang yang bersedia kompromi dengan Belanda.

Dalam situasi seperti ini Teuku Umar pada akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada September 1893 beserta 13 orang panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894 Teuku Umar memperoleh gelar Tuanku Johan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar Nedherland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas didadanya (www.acehprov.go.id/T.umar mengutip Hazil, 1955:97). Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan dengan mengorbankan kepentingan bangsa (www.acehprov.go.id/T.Umar).

Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.

Hal ini membuktikan bahwa Umar punya ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belandalah yang mampu mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah lebih lanjut motif Umar sebenarnya.

Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah Belanda sebodoh itu dengan bisa ditipu Teuku Umar berkali-kali? Atau mengapa Cut Nyak Dhien sendiri begitu kecewa dengan menyerahnya Teuku Umar? Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun