Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Teuku Umar: Pahlawan Sejati atau Oportunis Zaman Perang?

25 Juni 2011   15:05 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:55 5210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.

Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh. Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda.

Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).

Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar. Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera.

Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan. Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir.

Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda.

Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.

Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda.

Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu. Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik: Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.

Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan.

Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun