Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aman dari Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

7 September 2021   12:28 Diperbarui: 9 September 2021   16:53 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theguardian.com

Bahkan tidak jarang, ketika pun korban laki-laki berusaha terbuka dan meminta pertolongan, justru mendapatkan cemooh kejantanannya sebagai laki-laki. Alih-alih mendapatkan dukungan dan pertolongan, korban laki-laki malah bisa semakin terpuruk karena stigma dan perlakuan buruk masyarakat atas pengalaman pelecehan seksualnya tersebut. 

Korban laki-laki cenderung akan menutup pengalaman pelecehan seksual yang dialaminya. Sebagai akibatnya, kita tidak pernah benar tahu berapa jumlah laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia. Kita juga kurang mampu memberikan pertolongan yang mereka butuhkan tepat pada waktunya.

Siapa pelaku dan korban?
Pelaku biasanya adalah orang yang merasa memiliki kekuasaan lebih atas orang yang lain (korban). Dalam konteks kerja, yang ditemukan sering melakukan pelecehan adalah atasan/orang dengan kekuasaan lebih pada bawahan/orang yang memiliki sedikit kekuasaan (Easteal & Judd, 2008).

Korban pelecehan seksual di tempat kerja dapat dibagi menjadi korban langsung dan korban sekunder. Korban langsung adalah orang yang dikenakan pelecehan seksual dan mengalami kerugian secara langsung. Korban sekunder adalah orang terdampak dirugikan karena berada dalam lingkungan beresiko pelecehan seksual, misalkan: rekan kerja yang ketakutan masuk kerja karena mendengar ada perempuan yang dilecehkan di kantor.

Walaupun yang paling banyak dilaporkan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja adalah perempuan oleh laki-laki (Wilson & Thompson, 2001; Yeater, & O'Donohue, 1999); namun pelaku dan korban tidak selalu berlainan jenis kelamin, contohnya: ditemukan pelecehan yang dilakukan sesama perempuan di tempat kerja.

Dampak pelecehan seksual di tempat kerja
Ditemukan beberapa pengaruh psikologis, finansial, professional dan sosial yang dapat dialami korban pelecehan seksual di tempat kerja:
1. Korban menjadi obyek pelecehan seksual di depan orang banyak. Kelompok sekitarnya berpandangan bahwa ia layak dijadikan obyek pelecehan seksual, atau layak mendapatkan konsekuensi tertentu pada karirnya (dipecat atau diturunkan pangkatnya).
2. Korban digunjingkan, digosipkan atau diperlakukan buruk oleh lingkungannya.
3. Korban mengalami penurunan kinerja dan stress, misalkan: lebih sering absen.
4. Korban mengalami pencemaran nama baik di lingkungan kerja.
5. Korban kehilangan sumber pendapatan atau karir.
6. Kehidupan pribadi korban menjadi perbincangan orang banyak, maka kehidupan pribadinya terancam, misalkan: korban dan keluarga dicemooh pula di luar tempat kerja/komunitas.
7. Korban kehilangan teman, rekan kerja dan relasi sosial di lingkungan kerja.
8. Korban mengalami kehilangan kepercayaan pada komunitas dan tempat kerja.
9. Korban mengalami gangguan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan fisik dan mental.

Namun perlu dipahami, bahwa yang menjadi korban bukan hanya orang yang dikenai pelecehan seksual, namun juga orang-orang di sekelilingnya di lingkungan kerja tersebut atau disebut sebagai korban sekunder. Korban sekunder merasakan ketidaknyamanan bekerja karena melihat rekan kerjanya mengalami kekerasan seksual; misalkan: melihat rekan perempuan dilecehkan oleh rekan-rekannya perempuan lain merasa risih dan tidak nyaman. Bahkan, akibat pelecehan seksual di lingkungan kerja juga turut merugikan mereka; misalkan, menurunnya kinerja tenaga kerja membuat produktivitas kerja perusahaan akan terganggu.

Lebih lanjut, nama baik instansi kerja juga terpengaruh jika peristiwa pelecehan seksual di tempat kerja diketahui orang-orang yang bekerja di dalamnya dan publik; misalkan: peristiwa pelecehan memberikan label negatif pada instansi dimana kejadian tersebut terjadi (Chan, Chow, Lam, & Cheung, 2008; Firestone & Harris, 2003).

Apakah perusahaan perlu menanggapi kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungannya?

Sering korban yang melaporkan kejadian pelecehan seksual justru tidak mendapatkan bantuan tapi malah dilabel pembuat onar (trouble maker). Akibatnya, si korban yang melaporkan justru dibungkam, diminta agar tidak mempersoalkan pelecehan seksual yang dialaminya karena takut merusak nama baik instansi. 

Pembungkaman dan pelabelan ini justru akan berpengaruh buruk. Pada korban, tidak mendapatkan keadilan dari tindak pelanggaran yang dialaminya, dan juga kejahatan yang telah terjadi justru dimaklumi/dibiarkan terjadi tanpa mendapatkan konsekuensi hukuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun