Sering Guru dan orang tua bertanya, bagaimana mengajari anaknya untuk tidak berkelahi atau bagaimana membuat anaknya peduli pada orang lain dan menunjukkan kebaikan pada orang lain? Ini adalah pertanyaan kita semua. Di tengah-tengah kekerasan yang diteriakkan, ditampilkan, dilihat sehari-hari di Indonesia, bagaimanakah kita bisa mengajarkan kebaikan pada anak-anak kita?
Kekerasan adalah bentuk pelanggaran dan bukanlah penyesuaian psikologis yang sehat. Ketika kekerasan terjadi, baik pelaku dan korbannya sebenarnya mengalami persoalan psikologis, dan mereka beresiko terikat dalam siklus kekerasan.
Siklus kekerasan dapat terjadi di keluarga dan di masyarakat. Penting untuk mengidentifikasi kekerasan dan segera melakukan intervensi agar tidak terjadi atau tidak terulang lagi.
Tulisan ini akan menguraikan bagaimana mengajarkan kebaikan adalah hal yang perlu dipilih secara sadar pada saat ini agar anak-anak kita tidak terikat dalam siklus kekerasan.
Apa kekerasan?
Kekerasan adalah bentuk agresi, dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan luka/penderitaan pada orang lain. Penderitaan bisa berupa luka fisik, penderitaan psikologis, kerusakan seksual dan kerugian ekonomi. Secara khas, dalam peristiwa kekerasan, dapat diidentifikasi siapa pelaku (yang melakukan kekerasan) dan korban (yang dikenai kekerasan).
Ada banyak penyebab kekerasan; dari frustasi, manipulasi hingga meniru apa yang dilakukan oleh orang lain di lingkungan sekitarnya.
Kekerasan secara umum dilakukan oleh orang yang kesulitan mengelola emosinya, hingga akhirnya melakukan cara-cara yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain.
Misalkan, perasaan sedih dan frustasi bisa diekspresikan dalam bentuk melakukan kekerasan pada orang lain. Hal ini menunjukkan kesalahan berpikir bahwa kekerasan adalah cara lumrah dalam menghadapi emosi negatif diri.
Kekerasan juga dapat digunakan untuk memanipulasi orang lain; dimana orang menggunakan kekerasan untuk menghindari sesuatu atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.