Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Menjadi Benar atau Salah Bisa Berujung pada Kejahatan? (Bagian IV)

27 Oktober 2020   13:50 Diperbarui: 27 Oktober 2020   16:14 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak penelitian menemukan bahwa kapasitas empati adalah hasil belajar, dan tempat yang paling awal berperan menumbuhkan empati adalah di keluarga, di rumah. 

Peran pengasuhan orang tua menjadi sangat penting. Orang tua perlu menyadari perannya sebagai contoh dan panutan (role model) empati. Panutan yang dapat diamati baik kapasitasnya dalam memahami kondisi orang lain (kognitif), merasakan pengalaman emosional orang lain (afektif), serta mampu menciptakan tindakan untuk merespon keadaan orang lain tersebut (aksi empati). 

Seiring dengan perkembangan manusia, anak akan bergerak belajar empati dari lingkungan di luar rumah, seperti sekolah, lingkungan rumah, dan masyarakat. Semakin sering anak belajar dan memperluas wawasannya tentang emosi empati di berbagai konteks, maka semakin ia akan menjadi lebih luwes dalam menggunakan kesadaran emosi moralnya untuk menentukan keputusan dan perilaku moralnya.

Simpulan
Masalah moral dapat timbul dari proses moral yang buruk. Secara umum, dalam mencapai keputusan moral, ada 2 cara yang bisa dilakukan, yaitu:
1) Rasionalisasi: sebenarnya tidak ada proses berpikir, dimulai dengan simpulan yang diarahkan oleh nilai, berkembang dengan didorong oleh emosi yang tidak disadari, hingga menjadi suatu pembenaran perilaku yang telah dipilih sebelumnya; dan
2) Kesadaran emosi dan penalaran moral: menyadari emosi moral yang dialami, melakukan proses berpikir yang mengarahkan munculnya simpulan dan perilaku moral. Perbedaan utamanya adalah komponen kesadaran peran emosi moral manusia.

Berbagai kajian telah menunjukkan proses moral bukan hanya berisi penalaran atau proses kognititif moral, namun juga emosi moral memberikan dampak besar pada penalaran dan perilaku moral manusia.

Berbahaya justru ketika manusia hanya menggunakan penalaran tanpa disertai kesadaran emosi moralnya, karena dapat melahirkan rasionalisasi moral tanpa didasari kehati-hatian dan obyektivitas. Akibatnya, orang merasa "benar" dapat membuatnya melakukan kekerasan dan kekejian pada orang lain atas nama rasionalisasi moralnya.

Jika kita ingin mendorong orang melakukan penalaran moral untuk bertindak secara moral, maka kita juga perlu meningkatkan kesadaran emosi moralnya. Pengembangan emosi moral empati bisa menjadi salah satu cara memperkuat perilaku moral yang pro-sosial. 

Keterkaitan antara emosi moral, penalaran moral dan perilaku moral harus didasari oleh kemampuan refleksi diri. Pengembangannya juga dilakukan secara terus menerus sejak masa kecil hingga dewasa, pada berbagai konteks hidup baik dari pribadi, keluarga hingga masyarakat.

"Stop menyebarkan kebencian berbalut moralitas semu di dunia pendidikan di Indonesia".


Referensi:

  1. Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
  2. Damasio, A. Descartes' error. Putnam, New York, 1994.
  3. David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
  4. Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
  5. Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
  6. Haidt, J., & Joseph, C. (2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally variable virtues. Daedalus, 133, 55-66.
  7. Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
  8. Sandel, M.J. (2010). Justice What's the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
  9. Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in "theory of mind." Neuroimage, 19, 1835-1842.
  10. Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
  11. Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-37.
  12. Tracy, J.L., & Robins, R.W. (2007). The self in conscious emotion. In essica L. Tracy, Richard W. Robins, June Price Tangney (Eds.) in The self-conscious emotions : theory and research. The Guilford Press: New York.
  13. Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun