Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa yang Indonesia Perlu Pelajari dari "George Floyd"?

12 Juni 2020   13:02 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:41 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seniman menyelesaikan mural George Floyd di luar Cup Foods, Kamis, 28 Mei 2020 di Minneapolis. Warga Minnesota turun ke jalan dalam protes hari ketiga menyusul kematian George Floyd di tangan petugas kepolisian Minneapolis. (Ap/Mark Vancleave via kompas.com)

Kasus George Floyd membuat seluruh dunia diam, dan melakukan refleksi. Melihat ke dalam dan bertanya, "apakah bangsaku juga berhadapan dengan masalah diskriminasi, rasisme dan prasangka seperti di Amerika Serikat?". 

Dunia dipaksa belajar dari yang terburuk. Ketika diskriminasi ditutup-tutupi tapi nyatanya hidup subur di kepala-kepala orang yang memiliki kekuasaan dan di masyarakat, maka ketidak-adilan terus terjadi. 

Lebih lanjut, menumpuknya persoalan ketidak-adilan pun bisa menjadi bom waktu yang tiba-tiba meledak dan menghancurkan kesatuan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia menyatakan bangga menjadi contoh bangsa yang kuat kerukunan dan kemajemukannya. Benar memang, Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, baik suku bangsa, etnis, bahasa, budaya, agama, dan berbagai hal lainnya. Hidup dalam keberagaman seharusnya menjadi lebih terbiasa dengan perbedaan. Sungguh kekayaan bangsa Indonesia adalah keberagaman kita.

Tapi, apakah benar bangsa kita sungguh-sungguh menghargai keberagaman yang seharusnya menjadi identitas bangsa Indonesia? Ataukah belum semua dari bangsa ini bisa menghadapi perbedaan? Ataukah kita masih menumpuk masalah diskriminasi, rasisme dan prasangka; yang sudah menjadi bom waktu di masyarakat kita? 

Tulisan ini ditujukan untuk kita melakukan refleksi pribadi. Harapannya, paling tidak kita sadar apa yang tengah kita lakukan, dan berupaya untuk tidak menjadi pribadi yang diskriminatif, rasis dan melanggengkan prasangka; karena artinya, kita menyangkal identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Black ribbon - Pita hitam
Black ribbon - Pita hitam

Prasangka dan Diskriminasi
Dimulai dengan pemikiran, muncul perasaan dan perilaku. Prasangka (prejudice) adalah ide atau sikap negatif terhadap orang dari kelompok tertentu. 

Orang yang berprasangka tidak lagi berusaha memahami dan menghargai individu, karena sudah terlalu yakin dengan ide di kepalanya. Pemikirian negatif ini biasanya diikuti perasan negatif, seperti benci, tidak suka, marah, jijik, takut dan lainnya. Pada titik tertentu bisa memunculkan perilaku terang-terangan memusuhi, mengabaikan, melukai, bahkan membunuh.

Perlu digarisbawahi bahwa prasangka adalah cara berpikir yang bias maka adalah salah. Secara khas prasangka adalah cara pikir pendek (tanpa pertimbangan matang) yang akan berdampak munculnya kesalahan berikutnya.

Ada banyak jenis prasangka berdasarkan faktor pembentuknya: jenis kelamin, ras, etnik, orientasi seksual, kewarganegaraan, status sosio-ekonomi, dan agama. Dari prasangka muncul perbedaan perlakuan atau diskriminasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun