Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Trauma KDRT dan Dampaknya Sepanjang Usia Perkembangan Anak-Remaja

28 April 2020   14:58 Diperbarui: 4 Desember 2021   10:33 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara kognitif mereka juga mulai bergerak dari pola pikir pra-operasional menuju operasional konkret; dimana kemampuan berpikir menjadi lebih logis dan kemampuan memecahkan persoalan menjadi lebih baik. Kemampuan bahasa berkembang melalui eksplorasi dalam interaksi sosial, misalkan pertambahan kosakata akan dipengaruhi kata-kata yang digunakan dalam dialog dengan orang-orang di sekelilingnya. Akan tetapi, karena pola pikir yang masih konkret, masih belum memungkinkan mereka untuk mengolah hal-hal abstrak. 

Akibatnya, dalam berpikir mereka cenderung melompat pada simpulan tertentu tanpa berpikir untuk melihat berbagai kemungkinan atau alternatif lain terlebih dahulu (Vernon, 2009). Contohnya, jika ibu tidak memeluk saya seperti yang biasanya ia lakukan sebelum tidur, maka anak berpikir bahwa ada sesuatu yang ia lakukan sehingga membuat ibunya marah dan tidak mau memeluknya.

Secara personal, perkembangan diri mereka berkembang dari pemahaman akan atribut-atribut yang mereka miliki. Atribut psikologis atau fisik seperti, "saya pintar", atau "saya pendek" menjadi dasar pengembangan kompetensi dan harga diri (self-esteem) mereka. Pada masa ini, secara emosional mereka menjadi kritis terhadap diri sendiri dan peka terhadap masukan dari orang lain; oleh karena itu pada masa inilah anak akan mengembangkan emosi kompleks seperti rasa bersalah, malu dan harga diri (Cole & Cole, 1996 dalam Vernon, 2009).

Pada usia sekolah, dampak negatif trauma KDRT yang paling sering terlihat adalah kurang berkembangnya kemampuan sosial dan munculnya perilaku agresif, kesulitan menyesuaikan diri dan beradaptasi di lingkungan sekolah, serta munculnya perasaan sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Jika anak keterampilan sosial anak lemah, ia menjadi sulit menyelesaikan persoalan sosial. Ia bisa menjadi lebih reaktif-agresif atau menarik diri secara sosial ketika menghadapi konflik sosial. Misalkan, ketika bertengkar tengan teman bisa jadi mereka jadi memukul (agresif reaktif) atau selalu menghindari teman (menarik diri). Sebagai akibatnya, mereka sering ditemukan menjadi pelaku atau korban dari bullying (Bauer dkk., 2006). Dalam lingkup sosial, anak-anak ini juga bisa kesulitan mengikuti peraturan di sekolah, kurang mampu mengembangkan relasi yang bermakna dengan teman sebaya, serta sulit mempercayai guru.

Perkembagan sosio-emosional anak usia ini membuat mereka lebih mampu memahami tentang fenomena KDRT, terutama bagaimana perasaan ibunya yang menjadi korban (Daniel, Wassell, & Gilligan, 1999 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Mereka juga mampu memahami alasan terjadinya KDRT dan melakukan prediksi kapan terjadinya KDRT di lingkungan rumah, bahkan pada kasus-kasus tertentu anak akan berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan di rumah berdasarkan pemahaman mereka tersebut.

Sayangnya, walaupun kemampuan kognitif dan emosional sudah ada, tapi jika disertai dengan sikap kritis pada diri sendiri, hal ini bisa membuahkan pemahaman KDRT yang kurang tepat. Mereka jadi menyalahkan dirinya sendiri. Sering, anak-anak yang hidup dalam keluarga yang mengalami KDRT berpikir bahwa mereka turut memiliki andil atau penyebab terjadinya kekerasan di rumah. Hal ini terjadi karena anak yang masih memiliki pola pikir egosentris, mengambil posisi kritis dengan menyalahkan diri sendiri atas terjadinya kekerasan pada ibunya (Vernon, 2009). Contoh pikiran-perasan yang muncul pada anak-anak yang menyaksikan KDRT di masa ini adalah: "karena saya nakal maka ayah marah-marah dan memukul ibu".  

Tidak jarang mereka akan berlogika bagaimana cara mencegah kekerasan terjadi di rumah ("saya akan berusaha tidak nakal agar ayah tidak marah-marah" atau "ayah memukul ibu karena rumah berantakan, maka saya akan membantu ibu memastikan rumah rapih"), bahkan bisa melakukan berbohong dan menutupi keadaan rumah dalam rangka menjaga kestabilan rumah dan keluarga. Jika tidak diresolusi, kesalahan berpikir ini dapat berpotensi menjadi dasar perilaku agresifnya baik secara sosial maupun dalam relasi intimnya di masa depan (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).

Masa remaja
Periode remaja berlangsung dari usia pubertas hingga usia kemasakan dewasa (11-12 tahun hingga 18 tahun). Pubertas ditandai dengan perubahan fisik dan hormonal.

Pada remaja awal (11-14 tahun), secara kognitif terjadi transisi secara bertahap dari pola piker operasional konkrit menuju operasional formal, dimana kematangan berpikir ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan mengkaji persoalan dari berbagai perspektif (Kaplan, 2000 dalam Vernon, 2009). Perlu dipahami bahwa kematangan berpikir biasanya dicapai pada periode akhir masa remaja, namun waktu pencapaian kematangan berpikir ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan individual.

Seorang remaja dengan kemampuan penalaran formal belum tentu memiliki kapasitas pemahaman menyeluruh atas suatu situasi yang dialaminya. Misalnya: walau tahu orang tuanya tidak memperbolehkan pulang malam, remaja mudah akan mencoba menolak hukuman jika ia melanggar peraturan tersebut. Secara personal, remaja berusaha untuk membentuk pribadi yang unik dan lebih otonom.

Dalam pada remaja, usaha individuasi masih sering berhadapan dengan kebutuhan tergantung pada orang tua (tergantung secara ekonomi, psikologis dan sosial). Kebutuhan menjadi diri sendiri juga sering bersitegang dengan kebutuhan diterima oleh kelompok teman sebaya dan teman dalam relasi intimnya. Akibatnya, remaja akan menjadi sangat peka dan cenderung reaktif emosional terhadap persoalan yang berkaitan dengan orang tua dan remaja sebayanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun