Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Trauma KDRT dan Dampaknya Sepanjang Usia Perkembangan Anak-Remaja

28 April 2020   14:58 Diperbarui: 4 Desember 2021   10:33 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idealnya, anak pada masa kanak-kanak awal perlu mengembangkan kelekatan yang kuat (secured attachment) dengan pengasuhnya, dimana pengasuh akan berperan penting sebagai pemberi struktur dan sebagai panduan belajar dalam memahami dan mengendalikan emosi anak (Edleson, 1999).

Pada usia ini anak masih sangat bergantung pada pengasuhnya atas segala aspek kehidupan mereka. Itulah sebabnya, pengaruh negatif KDRT yang akan dialami akan lebih mendalam sepanjang hidup mereka (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001). Anak usia ini yang menyaksikan KDRT dapat memunculkan lebih banyak permasalahan perilaku, permasalahan relasi sosial, gejala post-traumatic stress disorder, dan kesulitan mengembangkan empati jika dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak menyaksikan KDRT (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001).

Stress yang dialami balita muncul dalam berbagai gejala seperti: mudah menangis, kurang berkembang atau mundurnya kemampuan berbahasa dan toilet training (Osofsky, 1999); gangguan tidur, serta persoalan kelekatan dimana anak mudah takut dan stress jika ditinggal pengasuhnya (Lundy & Grossman, 2005). Juga ditemukan gejala psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, asma, insomnia, mimpi buruk, tidur sambil berjalan, dan eneuresis (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Gejala-gejala psikosomatis ini merupakan indikasi usaha ego mereka untuk melepaskan diri dari rasa takut atau kecemasan mereka yang disebabkan oleh stress menyaksikan KDRT.

Pertanyaan yang muncul dari sini adalah, bagaimana mekanisme munculnya permasalahan psikologis anak yang menyaksikan KDRT pada masa kanak-kanak awal?

Pemahaman anak pada usia ini atas KDRT sebagai konsep yang abstrak masihlah terbatas. Mereka dapat membuat simpulan-simpulan sederhana tentang apa itu KDRT dari apa yang mereka lihat sehari-hari, seperti KDRT adalah bekelahi atau memukul; namun pemahaman mereka atas bagaimana dan mengapa KDRT terjadi belumlah utuh.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efek negatif KDRT terjadi secara tidak langsung pada saksi KDRT balita. Pengaruhnya negatifnya hadir secara tidak langsung melalui hubungan kelekatan yang rusak antara balita dan pengasuhnya. Ibu yang menjadi korban KDRT akan mengalami keadaan emosional yang negatif dan mendalam (emosi sedih, marah), hal ini membuat ibu kesulitan menyediakan kebutuhan emosi keamanan dan kenyaman yang konsisten bagi anak karena mereka sibuk dengan mengelola emosi negatif yang mereka alami sebagai korban KDRT. Terbagi di antara rasa sedih, marah dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anaknya.

Jika orang tua gagal memberikan dukungan emosional bagi balitanya, maka akibatnya kelekatan antara orang tua-anak menjadi lemah (Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002) atau pada beberapa kasus anak dapat mengembangkan kelekatan ambivalen atau disorganized attachment, dimana ibu dilihat sebagai sumber rasa nyaman dan juga rasa takut (Martin, 2002).

Anak yang dibesarkan ibu korban KDRT bisa kesulitan menentukan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan afeksinya seperti rasa aman dan nyaman dari pengasuhnya (sikap ambivalen). Kelak, sikap ambivalen ini bisa membuat anak sulit mengidentifikasi, memahami dan memilih emosi yang tepat untuk diungkapkan dalam suatu relasi intim dengan orang terdekatnya.

Lebih lanjut, ibu yang mengalami KDRT juga tidak bisa berperan menjadi model/panduan pengelolaan emosi. Anak belajar dari mengamati, maka ia membutuhkan model untuk memahami dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam suatu konteks sosial. Misalkan, frustasi ibu sebagai korban KDRT yang tidak tersalurkan bisa berujung pada perilaku kekerasan dalam pengasuhan anak. Ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental, misalkan depresi, membuatnya kesulitan mengasuh anak, hal ini semakin memperburuk pengalaman negatif anak atas KDRT (McKlosky dkk., 1995 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).

Ibu korban KDRT yang depresi juga cenderung mudah melaporkan bahwa anak-anak mereka bermasalah atau sulit diatur. Hal ini belum tentu karena anak bermasalah, namun karena Ibu kewalahan mengelola perasaannya sendiri sehingga mereka kesulitan melakukan pengasuhan dan pengawasan anak (Edleson, 1999).

Masa usia sekolah
Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak mulai mengembangkan kemampuan pemahaman emosi yang lebih kompleks. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih mampu merasakan apa dan bagaimana perasaan mereka dan juga mampu memahami bagaimana perasaan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun