Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Trauma KDRT dan Dampaknya Sepanjang Usia Perkembangan Anak-Remaja

28 April 2020   14:58 Diperbarui: 4 Desember 2021   10:33 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) beresiko tinggi mengalami trauma atas pengalaman menyaksikan kekerasan, bahkan sebagian juga akhirnya turut menjadi korban penganiayaan.

Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak (Carlson, 2000). Dalam hal ini, posisi anak menjadi korban secara tidak langsung atau dapat disebut sebagai korban laten (Margaretha, 2007; 2010). Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga atau korban KDRT secara tidak langsung juga dapat mengalami gangguan serius dalam perkembangan, mental dan emosional, perilaku, kesehatan, dan kemampuan akademisnya di sekolah (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006; Emery, 2011; Ramsay dkk., 2002).

Penting untuk dipahami bahwa melihat kekerasan dalam rumah pada anak dapat menimbulkan persoalan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental; sedangkan jangka panjangnya, anak berpotensi terlibat dalam kekerasan dan pelecehan di masa depan (baik sebagai pelaku maupun korban).

Trauma menyaksikan dan/atau mengalami KDRT mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan anak dan manifestasinya khas unik di masing-masing tahapan perkembangan manusia. Jika trauma KDRT terjadi dalam periode yang cukup lama, maka efeknya juga akan semakin buruk atas perkembangan anak; bahkan efek kumulatif akan terus mempengaruhinya hingga masa dewasa.

Oleh karena itu, tulisan ini fokus untuk mengulas apa dan bagaimana pengaruh KDRT pada perkembangan psikopatologi sepanjang masa kanak hingga remaja. Berikut akan diuraikan pengaruh trauma KDRT yang dapat terjadi pada masa kanak awal, masa usia sekolah dan masa remaja.

Dampak psikologis KDRT pada anak

Reaksi anak terhadap trauma KDRT bisa berbeda-beda. Karena sering melihat kekerasan di sekelilingnya, anak bisa menjadi cenderung agresif (externalizing problem behavior) atau bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya (internalizing problem behavior). Hal ini akan dipengaruhi oleh jenis trauma dan lama trauma dialami si anak, serta pola kepribadian anak sendiri.

Lebih lanjut, penelitian longitudinal oleh Emery (2011) menemukan bahwa hubungan antara trauma menyaksikan KDRT dengan munculnya problem psikologis bisa melemah seiring bertambahnya usia anak pada saat menyaksikan KDRT pertama kali.

Kemungkinan munculnya problem perilaku akibat trauma KDRT menjadi lebih rendah jika KDRT dialami pada usia yang lebih tua; atau dengan kata lain, dampak trauma KDRT cenderung lebih berat jika anak masih berusia belia.


Masa kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga 6-7 tahun), anak masih sangat tergantung pada pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, mereka mengembangkan kelekatan dengan pengasuhnya, biasanya ibunya. Hubungan antara anak dengan pengasuhnya dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya, dimana ciri kemampuan kognitif anak pada usia ini adalah pola pikir pre-operasional (Mc Devitt & Ormrod, 2002 dalam Vernon, 2009). Dalam masa ini, anak belajar lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat atau dengar daripada hasil logika berpikir mereka. Oleh karena itu anak akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak, contohnya seperti kesulitan memahami apa dan bagaimana makna kematian.

Dalam hal perkembangan diri, mereka masih berada dalam fase egosentris, artinya mereka berasumsi bahwa semua pikiran dan perasaan semua orang sama atau merujuk pada pikiran dan perasaan mereka, sehingga mereka sulit memahami situasi dari perspektif orang lain (Vernon, 2009). Secara emosional, mereka sedang belajar mengenali berbagai bentuk perasaan dan emosi, emosi apa yang perlu ditunjukkan, dan bagaimana menampilkan emosi dalam suatu konteks situasi. Lebih lanjut, keterbatasan perbendaharaan kata dan kepekaan penggunaan kata yang dimiliki mereka masih terbatas. Maka mereka masih sering menggunakan perilaku untuk mengungkapkan emosi atau perasaan mereka, contohnya: menangis dan melempar barang sebagai tanda perasaan marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun