Mohon tunggu...
Marganda H. Hutagalung
Marganda H. Hutagalung Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Partner di DARE Law Alliance dan Direktur Eksekutif TaktiKata Consulting

Seorang advokat yang juga suka menulis. Kunjungi situs kami di darelaw.co.id dan taktikata.com untuk berkonsultasi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Rakyat di Malam Hari, Penguasa di Dini Hari

8 Maret 2019   03:57 Diperbarui: 8 Maret 2019   04:38 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis HAM sekaligus dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet (jaket biru) telah dipulangkan oleh pihak kepolisian, Kamis (7/3/2019) sore. (KOMPAS.com/Devina Halim)

Lagi-lagi penguasa merampas kemerdekaan warganya gara-gara ucapan. Robertus Robet--seorang pengajar Program Studi Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta--ditangkap polisi dengan sangkaan telah menghina institusi Tentara Nasional Indonesia dalam suatu orasi.

Penangkapan itu merupakan tindak lanjut atas sebuah laporan dari personil Kepolisian RI. Dugaan tindak pidana yang mendasari penangkapan itu diambil dari tindak pidana yang--walaupun masih berlaku sampai sekarang--telah ada sejak sebelum negara kita merdeka: Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap penguasa.

Kegamangan yang lucu dialami oleh institusi pemerintahan negara ini terkait julukan "penguasa." Pada malam hari tanggal 6 Maret 2019, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo yang memilih pulang ke Istana Bogor dengan menaiki kereta rel listrik seolah ingin dianggap sejajar dengan rakyat. Tapi pesan berbeda keluar beberapa jam kemudian. Di hadapan seorang warga pelantun ekspresi yang dinilai menistakan citra institusi negara, tangan pemerintah yang memiliki kewenangan memegang senjata (i.e. Kepolisian RI) menegaskan bahwa mereka adalah "penguasa." Robertus pun dibawa secara paksa pada pukul 00.30 WIB dini hari.

Dengan semangat ingin menentukan pandangan secara bijaksana, saya mulai mencari pendapat-pendapat terkait kasus ini terutama dari pihak-pihak yang berseberangan. Sebuah forum diskusi di stasiun televisi berita menampilkan pandangan Kivlan Zen terkait kasus ini. Menurut pandangan purnawirawan jenderal angkatan bersenjata itu:

  • momentum penyampaian ekspresi Robertus Robet--yang dilakukan pada Aksi Kamisan--disinyalir didompleng simpatisan gerakan komunis; selain itu
  • sah-sah saja apabila dirinya dan para personil angkatan bersenjata lainnya marah atas penyampaian ekspresi tersebut, walaupun boleh saja rakyat mengkritik angkatan bersenjata.

Dalam tulisan ini saya tidak mau menghabiskan lebih dari satu paragraf membahas pendapat yang pertama. Agak sumir apabila ada yang menyimpulkan afiliasi Robertus Robet dengan gerakan komunis terbukti dengan partisipasinya dalam Aksi Kamisan kemarin.

Setahu saya, Aksi Kamisan merangkum dorongan masyarakat untuk menyelesaikan penegakan hukum atas dugaan-dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Memang di dalamnya ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah sebagai respon atas Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) yang berkaitan dengan topik komunisme. Akan tetapi Aksi Kamisan juga mengakomodir penyampaian ekspresi terkait tragedi-tragedi 1998 dan peristiwa lainnya. Lagi pula, menurut Robertus, orasi yang dinyanyikannya populer pada rangkaian demonstrasi yang menyelimuti reformasi.

Pendapat kedualah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini. Klise memang, tetapi dalam demokrasi memang sah-sah saja apabila rakyat dan penguasa saling berbalas pantun. Namun kita tahu bahwa pemerintah dengan segenap aparatur dan wewenangnya jauh lebih kuat dibanding individu warga negaranya. Yang jadi masalah adalah apabila lantunan verbal warga negara tiba-tiba dihantam dengan kewenangan dan kekuatan pemerintah yang jelas tidak sebanding.

Pada saat dihadapkan dengan masalah ini, mungkin anda tergerak untuk mengatakan bahwa perlakuan Kepolisian RI tidak sewenang-wenang karena sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Pendapat semacam itu didasari asumsi bahwa seluruh peraturan yang berlaku saat ini sudah benar dan berkeadilan.

Saya ingin mempertanyakan asumsi itu. Coba kita dalami lagi hukum yang diterapkan dalam kasus ini. Delik tindak pidana yang digunakan berasal dari pasal perundang-undangan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Peraturan yang kita kenal dengan sebutan KUHP tersebut mulai diberlakukan pada tahun 1918 oleh pemerintah penjajah Belanda terhadap warga Hindia Belanda.

Singkat cerita, setelah kemerdekaan, keberlakuan peraturan pidana ini dipertahankan dengan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan turunannya. Dipertahankannya keberlakuan KUHP ini--yang teks aslinya bahkan masih dalam Bahasa Belanda--dilakukan sambil menunggu disahkannya peraturan pidana umum baru yang sayangnya belum juga terealisasi setelah satu abad berlalu.

Apakah pembuat undang-undang pada saat itu berasal dari rakyat dan memprioritaskan keadilan bagi warganya? Jangankan menganggap rakyat Hindia Belanda sejajar dengannya, pemerintah Belanda pada saat itu dalam beberapa aspek bahkan menerapkan peraturan yang diskriminatif terhadap warga golongan timur asing, pribumi dan Eropa.

Kalau kita mau melihat tatanan hukum dengan kaca mata kuda, pasal tersebut memang bagian dari hukum yang berlaku saat ini. Tapi kehadirannya mungkin tidak lebih dari noda sejarah yang masih menempel di rajutan Negara Indonesia yang merdeka, berkeadilan dan (seharusnya) melindungi warga negaranya. Pemerintah dalam hal ini bisa memilih untuk tidak menerapkannya. Tapi sayangnya, pemerintah--melalui upaya paksa Kepolisian RI--seolah malah memilih untuk menggantikan peran penguasa Hindia Belanda (di tahun 2019).

Apa pesan moral dari keseluruhan kisah ini? Sayangnya saya tetap kembali kepada kebingungan awal. Di satu sisi, kelihatannya Pemerintah Republik Indonesia berasal dari rakyat dan menyatu dengan rakyat. Ingat baru-baru ini, pendukung Joko Widodo pernah protes saat sang presiden digambarkan sebagai "Raja Jawa" di salah satu poster. Terkait peristiwa itu, kata-kata politisi Budiman Sudjatmiko:

"Pak Jokowi itu adalah bagian dari rakyat, Pak Jokowi adalah kita. Menempatkannya di atas rakyat adalah justru ingin melemahkan kekuatan utama dari Pak Joko Widodo."

Tapi di sisi lain, sebaiknya jangan berani mengolok-olok institusi-institusi pemerintah. Karena apabila itu dilakukan, pemerintah bisa tiba-tiba menjelma menjadi "penguasa" dan memenjarakan kita.

Entahlah. Mungkin pemerintah adalah (bagian dari) rakyat di malam hari, namun ia jadi penguasa di dini hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun