"Gombal."
Setelah bertukar nomor telepon, kami berpisah. Aku pulang bersama murid-muridku ke asrama para atlet di sebuah rumah yang disediakan sempai Adnan. Letaknya tak begitu jauh dari stadion. Selain itu, menurut Mas Adnan, jika terus bersama-sama selama mengikuti kejuaraan, kami bisa langsung mengoreksi hasil pertandingan yang sudah kami jalani, baik untuk yang kalah maupun yang menang dan melanjutkan ke pertandingan babak berikutnya.
Pada hari kedua pertandingan, Mas Rama mengabarkan kepadaku melalui WA, ia tak bisa hadir dan minta maaf karena harus mengikuti rapat di kantornya. Ia kini duduk sebagai salah satu direktur di salah satu perusahaan milik ayahnnya. Kubilang tak masalah karena ia memang tak harus selalu hadir.
Sejauh ini, aku belum bertanya dan mungkin takkan bertanya mengenai hal-hal pribadi tentang dirinya. Misalnya ia sudah punya pacar atau belum. Sudah bertunangan atau belum. Aku tak ingin terkesan punya harapan tertentu kepadanya. Aku ingin semuanya berjalan secara alamiah saja.
Pada hari kedua itu, di sela-sela istirahat pertandingan, aku keluar stadion untuk mencari minuman dingin.
Tiba-tiba seorang wanita muda berdiri di hadapanku. Ia menatapiku dengan mata penuh kebencian.
"Kamu Ririen, kan?"
"Betul. Ada apa ya?"
Ia mendengus.
"Aku Yosi," ia menyebutkan namanya tanpa kumita. "Aku ke sini dengan meluangkan waktuku yang sangat berharga untuk mengingatkanmu."
"Soal apa ini?"