Mohon tunggu...
Marceline Yudith
Marceline Yudith Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

typically INTJ :) I'm small and may not look like it, but I chase my dreams like a mad tiger.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Penggembala Kerbau, Hingga Jadi Penggembala Tunas Bangsa

14 September 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:54 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini tentang seorang pria paruh baya yang sudah saya kenal dengan sangat baik. Dulu beliau adalah seorang anak petani yang miskin. Beliau memiliki tujuh orang saudara yang hidupnya harus dicukupi, namun apa daya tangan tak sampai. Untuk makan saja, terkadang lauk satu telur dadar harus dibagi dengan saudara berbanyak, dan seringkali beliau hanya dijatah kerak nasi. Situasi ini memaksa beliau untuk angon kebo milik tetangga, demi membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Walaupun dengan keadaan ekonomi yang kurang, semangat beliau untuk menimba ilmu tidak pernah padam. Saya kira jelas bedanya orang yang hanya ingin menciduk rezeki lebih banyak, atau sekedar menjadi sukses, dengan orang yang memang cinta dengan ilmu pengetahuan. Sungguh, beliau memang haus untuk belajar. Berkali-kali dijegal oleh keterbatasan, tapi jalan keluar itu selalu ia temukan dengan usaha.

Sementara mahasiswa lain bisa meluangkan waktu untuk jalan-jalan dengan teman-teman, lalu pulang ke kos dengan tenang dan bahkan bisa melalaikan waktu belajar, tidak demikian dengan beliau. Untuk masuk ke perguruan tinggi, ia diterima di sebuah universitas swasta tapi tidak mampu membayar. Akhirnya rencananya untuk merajut ilmu disana batal. Tak putus asa, ia mencoba mencari jalan dengan mendaftar ke universitas lain, mencari yang berkenan memberinya beasiswa. Akhirnya usaha kerasnya membuahkan hasil, ia diberikan beasiswa hingga lulus oleh sebuah universitas negeri terkemuka. Disini dimulailah titik balik dalam hidupnya, sebuah proses yang memakan waktu panjang. Jika ia memiliki biaya untuk kuliah di universitas swasta tersebut, mungkin ceritanya akan berbeda.

Namun masalah tidak selesai hingga disana. Karena universitas tersebut di Jogja dan beliau tinggal di Bantul, transportasi atau tempat tinggal tentu menjadi pertimbangan. Terus terang, ia tidak memiliki biaya untuk membayar uang kos, tetapi jika harus nglaju setiap hari dari Bantul ke Jogja, biayanya juga tidak cukup. Terpuruk? Mungkin. Tapi beliau ini orangnya sabar, dan kalem. Tidak mudah putus asa. Setelah berpikir bagaimana alternatif yang terbaik, ia teringat bahwa salah satu tetangga memiliki angkot yang setiap hari melaju pulang-pergi ke Jogja. Beliau ini bukan orang yang hanya ingin mendapat sesuatu dengan cuma-cuma tanpa menawarkan apapun. Dengan resiko menyita waktu belajarnya, beliau menawarkan, seusai kelas ia akan membantu sang tetangga menjadi kenek, sebagai ganti ongkos pulang-pergi ke Jogja. Untung sang tetangga berbaik hati, terkadang ia juga diberi komisi, karena memang beliau seorang pekerja keras.

Ia lulus kuliah dengan nilai yang sangat memuaskan, yang membuatnya ditawari posisi sebagai asisten dosen di sebuah universitas swasta terkemuka di Jogja. Disanalah beliau bekerja dengan keras, hingga akhirnya diangkat menjadi dosen tetap. Namun beliau memang cinta belajar. Tak puas dengan yang dicapainya, ia terus belajar dengan keras hingga akhirnya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di benua yang berada di belahan bumi lain. Disana, ternyata bahasa Inggris menjadi kendala. Walaupun bahasa Inggrisnya baik dan nilai TOEFL-nya tinggi untuk orang Indonesia pada saat itu, tapi berada di kelas yang diampu dengan bahasa Inggris, di negri orang pula, tentu merupakan hal yang jauh berbeda. Beliau mengatakan, “Beberapa bulan pertama di kelas, rasanya saya ini tuli. Yang saya bisa lakukan hanya belajar setiap hari melalui buku teks. Saya tidak pernah keluar kamar untuk dolan, tidak ada waktu.”

Beberapa bulan kemudian, kesulitan tersebut ditambah dengan menyusulnya istri dan putrinya yang berusia tiga tahun. Anaknya ini terkadang membuatnya kesal, bukan karena hobinya menggambar dan menulis. Namun entah kenapa, hobinya ini disalurkan dengan cara mencoret-coret buku teks bapaknya. Padahal bapaknya ini sudah tidak pernah keluar kamar, karena waktunya habis untuk belajar. Sekarang malah dirusuhi anaknya. Anak kecil yang baru berada di luar negri, tentu bawaannya ingin jalan-jalan. Belum lagi dengan fakta perbedaan bahasa, bapaknya ini juga harus meluangkan sedikit waktu untuk mengajari anaknya bahasa Inggris supaya ia bisa beradaptasi dengan baik. Terus terang, anaknya ini sangat cerewet. Ia juga senang belajar seperti bapaknya, sehingga apa saja ia tanyakan, tidak peduli bapaknya sedang belajar atau makan.

Tidak mudah untuk membagi waktu belajar dan keuangan dengan kehadiran keluarga. Pasalnya, dana beasiswa seringkali terlambat ditransfer, dan hal yang sama juga dialami pelajar penerima beasiswa lainnya. Akhirnya, sang istri setiap hari berjalan kaki kemana saja kaki melangkah, untuk mencari kerja sambilan. Alasannya, orang dewasa mungkin bisa tahan irit untuk kebutuhan hidup, tapi seorang anak berusia tiga tahun harus tetap minum susu dan makan. Akhirnya setelah beberapa minggu, istri beliau menemukan pekerjaan sambilan. Siang hari ia menjadi penjahit, dan malam hari menjadi pelayan di gerai fastfood. Konsekuensinya, malam hari ketika istri bekerja, ia harus mengurangi waktu belajarnya karena harus menjaga anak dirumah. Untung ketika siang hari, dengan usaha keras akhirnya mereka memperoleh informasi bahwa si anak bisa dititipkan di day care secara gratis.

Perjuangan tersebut terus ditempuhnya hingga akhirnya memperoleh gelar master, dan melanjutkan tugasnya untuk membimbing tunas bangsa di Indonesia. Tahun demi tahun berlalu dengan kesulitan dan prestasi. Akhirnya, dengan kerja kerasnya selama lebih dari dua puluh tahun, kini beliau dipercaya menjadi orang paling penting di universitas tersebut. From zero to hero. “Perjuangan itu jika sungguh ingin dijalani, harus dilakukan dengan komitmen. Tidak bisa setengah-setengah. Kamu tidak bisa berhenti di tengah-tengah, perjuangan pasti harus selalu dilakukan. Semangat tidak boleh kendor.” Begitu pesan beliau pada saya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun