Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama FEATURED

Melirik Kaitan Antara Mega, PDI-P dan Jokowi

10 Januari 2019   06:44 Diperbarui: 10 Januari 2022   06:30 1626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berfoto bersama Presiden Jokowi| Tribunnews/Dany Permana

Walaupun Bung Karno telah wafat pada tahun 1970 tetapi wibawanya masih terus terasa di masyarakat. Oleh karena berbagai alasan, masyarakat kembali merindukan Sukarno. 

Kerinduan terhadap Bapak Bangsa itu kemudian menemukan momentum politiknya pada trah Sukarno. Momentum itu ditandai dengan munculnya Megawati Soekarnoputri yang mengawali kariernya sebagai ketua cabang partai di salah satu wilayah di DKI Jakarta.

Pada pemilu 1987, Mega turun ikut kampanye di berbagai daerah. Kehadiran putri Bung Karno itu mendapat sambutan yang hangat di masyarakat. Lama kelamaan popularitas Mega mulai menjadi ancaman terhadap kekuasaan Orba. Berbagai operasi intelijen dilakukan untuk menghempaskan laju politik adik Guntur Soekarnoputri itu.

Kongres PDI di Medan dan juga Kongres Luar Biasa di Surabaya merupakan beberapa indikasi adanya operasi itu. Dan puncaknya tentu saja Peristiwa Dua Puluh Tujuh Juli 1996 ketika terjadi penyerbuan ke Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta.

Secara de facto, kantor tersebut dikuasai Mega dan anggotanya yang militan. Penyerbuan ke kantor itu semakin mengukuhkan posisi Mega sebagai lambang perlawanan terhadap Orba.

Tidak sampai dua tahun sesudah peristiwa 27 Juli itu, pada Mei 1998 kekuasaan Orde Baru pun berakhir. Muncullah sebuah zaman baru yang disebut Era Reformasi yang salah satu agenda utamanya ialah melaksanakan pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan rahasia.

Dengan mengusung nama PDI-Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati Sukarnoputri itu ikut bertarung pada pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 dan berhasil menempatkan diri sebagai peringkat pertama.

Partai ini meraup 35.689.073 suara setara dengan 33,74 persen. Walaupun keluar sebagai pemenang pemilu tetapi yang jadi Presiden adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sementara Megawati kebagian kursi Wakil Presiden.

Pada pemilu lima tahun berikutnya, yakni tahun 2004 perolehan suara PDI-P menurun menjadi 21.026.629 atau setara dengan 18,53 persen dan berada pada peringkat kedua. Banyak analisis yang muncul mengapa pada pemilu 1999 suara partai begitu tinggi tetapi kemudian mengalami penurunan yang cukup tajam juga pada pemilu berikutnya.

Salah satu analisis itu menyebutkan bahwa pada pemilu 1999 ada 3 gambaran masyarakat terhadap partai yang dipimpin Mega ini. Pertama, Mega adalah simbol perlawanan terhadap Orde Baru karenanya sebagian pemilih yang tidak senang dengan Orba menjatuhkan pilihannya pada partai ini.

Kedua, banyak kalangan yang mengharapkan PDI-P dapat memberi perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, partai ini mampu mempersonifikasi dirinya sebagai partai "wong cilik" atau juga disebut partainya pemakai "sandal jepit".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun