Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengkritisi Pernyataan Fahri Hamzah yang Menyebut Jokowi Mirip Orba

12 Januari 2018   21:44 Diperbarui: 12 Januari 2018   22:28 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orde Baru atau Orba adalah suatu masa ketika Suharto memerintah di negeri ini. Secara konstitusi ,Suharto mulai memerintah ketika ia diangkat dan diambil sumpahnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ( MPRS) pada 12 Maret 1967.Waktu itu Ketua MPRS adalah Jenderal Abdul Haris Nasution( A H Nasution).

Sejak tanggal tersebut sampai lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998 disebut sebagai masa Orde Baru.Dengan hitungan yang demikian maka sering dinyatakan masa Orba itu sekitar 32 tahun. Banyak kalangan memberi stigma negatif tentang Orba.Karenanya sering muncul ungkapan yang menggunakan kata " Orba" yang kesemuanya berkonotasi negatif..

Hal tersebut juga baru baru ini dikemukakan oleh Fahri Hamzah . Politisi  PKS yang juga Wakil Ketua DPR itu mengatakan " Rakyat perlu menentang Jokowi yang mirip Orba". mCNN Indonesia ( 12/1/2018) memberitakan ,Fahri Hamzah menilai pemerintahan Joko Widodo sudah mulai menunjukkan sikap repressif layaknya Orde Baru dimasa lalu.

" Bukan cuma gejala .Ini sudah muncul .Gagal memberantas terorisme,bikin perppu ormas dan lain lain .Banyak sekali " ,kata Fahri di sela acara diskusi di bilangan Cikini ,Jakarta Pusat, Kamis  11/1/2018.

Selanjutnya Fahri menegaskan kebebasan berpendapat dan berkumpul yang telah tercapai pasca Orde Baru harus dipertahankan .Seluruh elemen masyarakat mesti sadar bahwa memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan meruntuhkan Orde Baru adalah capaian yang luar biasa. mKemudian Fahri melanjutkan,masyarakat mesti menentang pemerintah Jokowi bilamana mengeluarkan kebijakan yang berupa memasung kebebasan berpendapat dan berkumpul.Fahri menilai ,otoriterisme layaknya Orde Baru tidak boleh lagi ada dimasa sekarang.

Fahri menyarankan  pada Mei 2018 nanti ,20 tahun runtuhnya Orde Baru dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menentang kebijakan Jokowi yang cenderung represif. Dari pernyataan Fahri tersebut ada beberapa hal yang tersurat dan tersirat yang dapat ditangkap.

Fahri menyebut Jokowi layaknya Orde Baru antara lain karena:
1).gagal memberantas terorisme;
2).bikin perppu ormas dan lain lain ;
3).banyak sekali ( tentu yang dimaksudkannya adalah tindakan Jokowi:tapsiran penulis).

Pada masa Orde Baru kritik yang paling banyak dikemukakan ialah yang berhubungan dengan demokrasi dan kebebasan mengemukakan pendapat serta tindakan represif terhadap ektrim kiri dan ekstrim kanan. Ekstrim kiri ditujukan kepada siapapun yang ingin menghidupkan lagi PKI serta ajaran komunis,Marxis,Leninis dan ajaran kiri lainnya.

Sedangkan ekstrim kanan dimaksudkan kepada siapapun yang menginginkan mendirikan negara Islam atau yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi agama. Selanjutnya selama Orba dilakukan 6 kali pemilihan umum yaitu,1971,1977,1982,1987,1992 dan 1997.

Pada pemilu 1971 masih ada 10 parpol atau peserta pemilu yang bertarung yaitu PNI,IPKI ,Murba,Parmusi,NU,PSII,Perti,Partai Katolik ,Parkindo dan Golkar. Tetapi sesudah Pemilu tersebut ,pemerintahan Orba melakukan penyederhanaan parpol yakni PNI,IPKI,Murba ,Partai Katolik dan Parkindo di fusi kan menjadi sebuah partai yang diberi nama Partai Demokrasi Indonesia ( PDI).

Sedangkan partai partai Islam yaitu ,NU,Parmusi,PSII dan Perti di fusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan ( PPP). Sedangkan Golkar walaupun tidak menyebut dirinya partai politik tetap menjadi peserta pemilu. Dengan demikian 5 kali pemilu berikutnya dimasa Orba yaitu 1977,1982,1987,1992 dan 1997 hanya diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu yaitu Golkar,PPP dan PDI. 

Pada keseluruhan pemilu yang diselenggarakan selama Orba itu,Golkar selalu keluar sebagai pemenang. Namun kemenangan yang dicapai golkar itu bukan semata mata karena keringat kadernya tetapi lebih banyak karena adanya intervensi kekuasaan. Dengan intervensi kekuasaan yang demikian massif maka kedua parpol lainnya hanya punya peran sebagai kosmetika nya demokrasi.

Kekuasaan Orba yang begitu kuat membuat semua parpol harus tunduk dan patuh pada arahan pemerintah dan berbeda pendapat dengan pemerintah akan dicap sebagai tindakan subversif. Sekarang ini parpol kita hidup dalam suasana yang sangat demokratis dan tidak ada arahan dari pemerintah agar ikut dan " membebek" terhadap putusannya.Malahan dewasa ini parpol dan elemen masyrakat bebas untuk mengkritisi kebijakan penguasa.

Kemudian di masa Orba kita tidak mengenal arti kata kemerdekaan atau kebebasan pers. Semua pemberitaan harus tunduk kepada policy pemerintah.Apabila ada pemberitaan miring yang menyudutkan pemerintah maka penguasa akan menggunakan wewenangnya melalui sensor,pembreidelan hingga pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers SIUPP).Sekali SIUPP diterbitkan maka media massa tersebut akan dilarang terbit selama  lamanya.

Dengan kewenangan penguasa yang demikian maka penerbitan  pers harus berpikir dulu seribu kali sebelum mengeritik penguasa. Dari sisi demokrasi serta kemerdekaan mengemukakan pendapat, sekarang ini kita tidak melihat adanya upaya atau tindakan Jokowi yang merampas hak hak lembaga legislatif. Begitu juga halnya tidak terlihat adanya tindakan Jokowi yang memasung kemerdekaan mengeluarkan pendapat.Pers di negeri kita dengan leluasa melakukan kritik terhadap pemerintah berikut berbagai kebijakannya.Malahan banyak kalangan yang menyebut kemerdekaan mengeluarkan pendapat di negeri ini justru sudah kebablasan.

Tentang  Perppu pembubaran ormas,memang ada diterbitkan Jokowi.Tetapi sesuai ketentuan konstitusi,setelah menerbitkan Perppu tersebut, Presiden  telah menyampaikan perppu tersebut ke DPR RI untuk meminta persetujuan. Kemudian melalui pemungutan suara dalam Rapat Paripurna ,DPR telah menyetujui perppu dimaksud. 

Dari sisi ini terlihatlah dengan jelas tindakan Jokowi menerbitkan Perppu tersebut  adalah tindakan yang konstitusional . Kemudian tentang tuduhan Fahri bahwa Jokowi gagal memberantas terorisme. Memang harus diakui ,sekarang ini terorisme masih merupakan ancaman dalam kehidupan bangsa kita.Kecemasan tentang munculnya terorisme masih menghantui kita.Tetapi untuk mengatakan Jokowi gagal dalam memberantas ancaman yang menakutkan ini tentu tidak serta merta dapat dikatakan demikian.

Walaupun terorisme masih ancaman tetapi Jokowi selaku Presiden ,bersama aparat ketertiban dan keamanan telah banyak melakukan upaya untuk menekan berkembangnya teror. Selanjutnya sangat menarik untuk menyimak pernyataan Fahri yang mengajak masyarakat pada Mei mendatang melakukan peringatan tumbangnya Orde Baru.Pernyataannya menarik karena mengaitkannya dengan mengatakan  masyarakat dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk menentang kebijakan Jokowi yang cenderung repressif.

Sebagai Wakil Ketua DPR tentu Fahri faham mekanisme apa yang ditempuh apabila Kepala Negara dinilai melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Seperti yang kita cermati ,setelah beberapa kali amandemen UUD 45 ,sudah lengkaplah berbagai aturan yang berkaitan dengan tugas tugas Presiden dan Wakil Presiden serta sanksi apa yang diberikan apabila terjadi pelanggaran tugas .

Dengan berbagai peraturan yang demikian maka wajar kalau kita bertanya ,kemana arah pernyataan Fahri yang mengatakan  agar masyarakat memanfaatkan peringatan Orde Baru untuk menentang kebijakan Jokowi yang cenderung repressif.

Salam Demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun