Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembangkan Enerji Positif Sesudah Mudik

6 Juli 2017   22:23 Diperbarui: 7 Juli 2017   00:09 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengar kata " Mudik" bisa berbagai hal yang singgah di pikiran kita.Ada yang mengidentikkan  kata itu dengan kemacetan lalu lintas berkilo kilometer,ada yang membayangkan perjuangan naik kapal laut,tidak sedikit juga yang mengaitkannya dengan tiket pesawat yang mahal.Jutaan orang menyamakan kata mudik dengan bus yang penuh sesak dengan penumpang,terminal yang padat dan juga ratusan ribu orang yang menggunakan sepeda motor.

Setiap tahun semua orang punya gambaran yang sama tentang mudik tetapi setiap tahun juga jutaan orang mengulangi " ritual" ini.Semua orang mengetahui akan mengalami " penderitaan" selama dalam perjalanan tetapi setiap tahun orang rela menjalaninya kembali.

Kenapa orang rela mengulangi dan menjalani " penderitaan " itu?.Karena mudik juga berarti kembali ke kampung halaman.Di kampung halaman para pemudik akan menemukan sesuatu yang begitu nikmat yang begitu berharga ,sesuatu yang tidak ditemuinya di rumah tempat tinggalnya ,di lingkungannya bahkan di kota tempat tinggalnya ,kota metropolitan Jakarta.

Karena sesuatu yang ingin didapatinya hanya ada di kampung halaman lah maka dia merasakan adanya kenikmatan yang luar biasa sehingga ia mampu menafikan semua kesusahan,kelelahan dan menyampingkan semua keluhan. Apakah yang ditemuinya di kampung halaman itu? Yang ditemukannya adalah sebuah oase.

Dalam satu tahun setiap hari ia bergumul dengan berbagai masalah kehidupan yang kadangkala begitu rumit dan begitu kompleks.Setiap pagi pukul lima ,ia telah keluar rumah menunggu angkutan kota,bergelantungan disana,atau mungkin menggunakan sepeda motor diterpa angin dan debu,naik mobil ber Ac tapi dikepung kemacetan.Belum lagi sederet persoalan yang dihadapai yang kadang kadang membuatnya mumet,pusing dan pening.

Walau ritme hidup yang menjenuhkan itu dijalaninya setiap hari tetapi ia tidak dapat meninggakan kotanya tidak dapat meninggalkan Jakarta karena disana lah ia hidup disanalah ia cari makan.Andainya disuruh ,diperintahkan keluar dari kota itu ,pasti ia tidak mau.Dia akan menentang perintah kalau harus keluar dari kota nya,kalau harus keluar dari Jakarta. Karenanyalah kepenatan ,kelelahan satu tahun itu ingin dibasuhnya dengan mencempelungkan diri di kampung halaman di oase itu.

Meminum sepuas puasnya air di oase itu,di kampungnya ,tentu memberikan enerji baru baginya ,menumbuhkan semangat baru. Kenapa enerji itu muncul karena sesungguhnya dengan mudik, dia menjemput sesuatu yang baru ,sesuatu yang hanya ditemuinya disana. Keakraban,bersilaturrahim ,berkunjung ke rumah sanak keluarga,sholat Id di masjid yang dulu sering dikunjungi sewaktu kecil ,ngobrol di warung  ketemu teman teman lama adalah sesuatu yang indah ,sesuatu yang mengesankan.

Inilah oase yang ditemukannya di kampung halaman itu.Dengan ini semua ,biaya yang keluar untuk pulang kampung serta semua kelelahan, kepenatan di perjalanan menjadi sirna.Tidak hanya kepenatan di perjalanan yang hilang tetapi kegersangan hidup di Jakarta juga menjadi terbang bersama angin yang berhembus di kampung halaman itu.

Di kampung halaman para perantau ketemu banyak orang ,mereka yang tetap tinggal bertahun tahun bahkan puluhan tahun yang tetap setia menunggui kampung itu.Langsung atau tidak langsung muncul gambaran didalam hati bagaimana perbandingan tingkat hidup mereka dengan para perantau.

Andainya hidup para perantau lebih makmur dari yang tinggal di kampung maka rasa syukurlah yang harus mengisi relung relung hati.Rasa syukur bisa diwujudkan dalam berbagai hal terutama dengan berbagi kepada mereka yang kurang mampu.

Alangkah terpujinya para perantau yang mau menyekolahkan anak anak kurang mampu di kampungnya.Banyak anak cerdas dan pintar di kampung halaman tetapi mereka tidak dapat melanjutkan sekolah karena terkendala biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun