Pukul 06.30 pagi, ruangan kepala sekolah sudah penuh dengan berkas. Jam mengajar baru akan dimulai pukul 07.00, tapi suara notifikasi di ponselnya sudah tak berhenti berdenting sejak subuh.
Di layar: chat dari guru yang izin mendadak, laporan keuangan yang harus ditandatangani, dan undangan rapat daring dengan dinas yang dijadwalkan bersamaan dengan jadwal pembinaan siswa.
Dalam satu jam, ia menyulap dirinya menjadi administrator, mediator, motivator, sekaligus problem solver. Tapi siang harinya, ia duduk diam di ruangannya, memandangi dinding kosong.
Tubuhnya masih di sekolah, tapi pikirannya mengembara. Energinya habis. Fokusnya mengabur. Saat itulah ia sadar: ini bukan lagi soal waktu yang kurang, tapi energi yang bocor ke segala arah.
Cerita seperti ini bukan hal langka di dunia kepemimpinan sekolah. Banyak pemimpin terjebak dalam paradoks: sibuk sepanjang waktu, tapi merasa tak menghasilkan dampak yang signifikan.
Mereka hadir secara fisik, namun kerap absen secara emosional dan mental. Inilah alasan mengapa manajemen waktu saja tak cukup.
Seorang pemimpin harus belajar mengelola tiga aset sekaligus: waktu, energi, dan fokus.
Dalam bab ini, kita akan membongkar tiga dimensi tersebut---bukan sebagai teknik manajerial belaka, melainkan sebagai keterampilan kepemimpinan yang berakar dari kesadaran diri dan komitmen terhadap keseimbangan hidup.
Waktu Tak Pernah Cukup Jika Tak Tahu Prioritas
Dalam kepemimpinan sekolah, waktu adalah sumber daya paling demokratis: semua orang mendapat 24 jam. Namun, mengapa ada pemimpin yang tampak produktif, dan yang lain tenggelam dalam kelelahan tanpa hasil nyata?