Ada aplikasi yang harus diisi. Nah, aplikasi ini yang simpang siur. Ada beberapa nama aplikasi yang disebut perlu diinstal guna pelacakan riwayat perjalanan dan seterusnya. Tapi aplikasi yang mana? Saya sempat browshing, salah satu berita menyebut aplikasi itu adalah PeduliLindungi.
Maka saya instal aplikasi ini serta mengisi form-formnya. Namun, setelah saya tiba di pintu keberangkatan bandara, petugas kesehatan bandara justru meminta menginstal aplikasi eHAC Indonesia. Terpaksa instal lagi aplikasi itu.
Lolos dari pemeriksaan kesehatan, masuk melalui pintu pindai bandara menuju konter maskapai penerbangan kita. Lagi-lagi diminta instal aplikasi untuk check-in, lalu keluar barcode. Barcode itu yang akan dipindai untuk pass masuk ke ruang tunggu keberangkatan, dua kali pemeriksaan.
Selama dalam perjalanan
Setelah duduk di ruang tunggu keberangkatan dan meletakan tas bawaan, saya merenung. Bagaimana jadinya jika penumpang yang melakukan perjalanan ini adalah orang tua atau orang dari kampung, mereka memakai handphone namun masih yang analog, bukan smartphone berbasis android.Â
Jangan lupa, populasi orang Indonesia yang memakai handphone memang sudah besar serta menjangkau pedesaan.
Namun, tidak seluruhnya memakai handphone smartphone dengan sistem android---jenis handphone yang bisa menginstal macam-macam aplikasi semakin penting peranannya di masa new normal ini.
Selama masa perjalanan, pemeriksaan dokumen perjalanan juga berlaku. Saat transit di Ujungpandang, pemeriksaan yang sama juga dilakukan.
Tiba di Surabaya pemeriksaan yang sama dilakukan, bahkan saat masuk ke hotel. Petugas hotel menanyakan dari mana asal kita dan apakah punya surat keterangan sehat yang membuktikan kita tidak mengidap virus corona.
Hal ini misalnya terasa saat kita duduk dimana bangku yang tersedia di bandara yang ditandai X untuk memberi code bahwa tempat duduk itu tidak boleh digunakan. Guna memberi jarak antara yang orang yang satu dengan orang yang lain.