Mohon tunggu...
M. A. Octaviani
M. A. Octaviani Mohon Tunggu... -

Student of Sampoerna Academy. Part of Hornbill House.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putaran Waktu

24 Maret 2017   18:59 Diperbarui: 25 Maret 2017   03:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara bising melewatinya dengan kecepatan angin, memaksa merasakan getaran bumi saat itu. Kerasnya hempasan tiap gerbongnya membuat merinding terasa kian bertambah dinginnya realitas kehidupan. Setelah gerbong terakhir meluncur, terlihat seorang ayah dengan senyum penuh beban melihat sesosok gadis yang mengingatkan pada anak manisnya, Hanna.

Sejak lima tahun kelam Hanna pergi seorang diri, dan tidak satupun kabar mengenai Hanna yang didapati orang tuanya. Hati Hanna terluka, setelah mendapat pukulan keras dari ayahnya, bahkan mental Hanna saat itu sempat goyah. Sang ayah panik, Ia sangat teramat menyesal setelah mengayunkan tangan besarnya yang membuat bekas merah di pipi Hanna, membuat tubuh kecil Hanna terpental dalam sekali tebas hingga mengenai dinding kasar yang menyisakan bercak merah. Hanna hanya dapat menangis dan tak memikirkan apa yang harus dia lakukan, Ia hanya berlari menjauhi rumahnya tanpa alas kaki. Ibu Hanna yang saat itu sedang sakit keras hanya dapat terbaring, kondisinya memburuk mendengar anaknya pergi. Tak sampai satu bulan setelah kepergian Hanna, si ayah mendapati istrinya sudah tidak bernyawa.

Sesaat setelah Hanna pergi dari rumah orang tuanya, Ia bertemu sepasang suami istri yang kebetulan menemukan Hanna sedang menangis kencang dengan darah bergelinang. Mereka membawa Hanna dan merawatnya hari demi hari, dengan memberikan sandang papan yang layak. Hanna mempunyai keluarga baru yang peduli padanya. Keluarga kecil yang membantu Hanna keluar dari masa lalu, sehingga Hanna sembuh dari gangguan mentalnya.

Tiga tahun kemudian, Hanna bukanlah gadis kecil lagi, sekarang Ia menginjak usia remaja. Di lingkungan barunya, Hanna terkenal lugu, periang, dan ramah menjadikan banyak orang yang menyukainya, tak jarang setiap orang yang berpapasan disapanya. Sore itu, terlihat Hanna seorang diri sedang menyusuri jalan besar di tengah keramaian, Ia menuju toko kelontong yang terletak tepat di sebrang tempat Ia berdiri. Saat menunggu kendaraan memberikannya jalan, Ia melihat gadis kecil sedang menangis terisak-isak. Tak sampai hati meninggalkannya, Hanna mengurungkan niatnya menyebrang dan memutuskan menghampirinya. Hanna menyapanya dengan hangat, kemudian berjongkok tepat di depan anak itu. Dari sekian banyak pertanyaan dari benaknya, Hanna memulainya dengan menanyakan nama dan asalnya. Hampir serupa dengan Hanna namanya Sana, Sana menjawab dengan nyaring dan suara yang bergetar. Hanna dengan lembut menggenggam tangan Sana, secara spontan Sana sudah merasa nyaman dengan Hanna. Sana bercerita, Ia terpisah dari Ayahnya saat hendak pergi ke luar pagi tadi. Namun, Sana merasakan Ia sudah tidak sedang menggenggam tangan Ayahnya. Ia melihat Ayahnya berlari dan Sana hanya dapat berlari kecil dengan kaki pendeknya, tentu saja Sana yang tidak dapat mengejar Ayahnya hanya dapat menangis. Dengan tak pikir panjang, Hanna mengajak Sana ke rumahnya. Kedua orang tuanya menerima Sana, dan kemudian Sana tumbuh besar bersama Hanna.

Dua tahun berlalu, Sana tumbuh terlihat menyerupai Hanna, Sana selalu mengikuti apa yang kakaknya lakukan. Hanna sangat menyayangi adiknya dan begitu pula Sana kepada kakaknya. Sampai suatu ketika Hanna jatuh sakit parah selama berbulan-bulan. Sana adik kesayangannya selalu setia merawat dan menemani Hanna. Sampai suatu ketika, Sana melihat Hanna mengerang dan meminta mengambilkannya obat. Namun, tidak satupun butiran tablet tersisa, Sana mengambi langkah cepat memberi tahu orang tuannya. Sana seorang diri berlari mencari apotek terdekat, sembari berlari Sana menggenggam erat sampel obat yang dibutuhkan kakaknya. Orang tua mereka panik dan tersungkur di sebelah ranjang Hanna, Hanna mulai tenang. Kemudian Hanna mulai bercerita tentang rasa rindunya kepada sang ayah, tak lupa juga Hanna menceritakan ibunya, Ibu yang sedang sakit ketika Hanna meinggalkan rumah. 

Hanna mulai menangis, menyadari bagaimana nasib Ibunya sekarang. Hanna baru teringat sakit yang dia derita sama seperti yang ibunya rasakan. Hanna menjelaskan Ia menderita penyakit turunan Ibunya, orang tuanya yang sekarang semakin menggenggam erat tangan Hanna, takut akan kehilangan Hanna. Hanna mengecup punggung tangan orang tuanya sekarang satu persatu. Kemudian Sana datang berlari dan melompat ke tubuh Hanna yang terkulai lemas, kemudian menggenggam tangan kakaknya erat. Hanna tersenyum bersyukur masih melihat Sana untuk terakhir kalinya, Hanna membalas mengeratkan genggaman adiknya, dan dengan senyum tenang memejamkan matanya perlahan.

Selama satu tahun Sana tumbuh besar seorang diri, tanpa kakaknya. Kini Sana semakin terlihat mirip kakaknya, walaupun sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Sana sedang berada di stasiun, Ia terlihat akan berpergian jauh dalam waktu lama, sekarang Ia sedang menunggu keretanya. Tiba-tiba, datang pria paruh baya menghampirinya dengan mata yang sudah berair. Ya, ayah Hanna menemukan sesosok Sana, kemudian si ayah menggenggam tangan Sana. Sana dengan suara nyaringnya teriak ketakutan, bahkan Sana mengatainya pedofil. Sang ayah menenangkan situasi sekitar, yang sedang menatapnya curiga. Kemudian sang ayah menceritakan anaknya yang sangat menyerupai gadis itu. Ia bercerita,

“Dalam lima tahun saya merasa hampa, saya sedang dalam tekad perjalanan mencari sosok anak kesayangan saya yang telah lama hilang. Ingin merawatnya dan membelainya seperti sedia kala, ingin menebus kesalahannya dan menjadi ayah yang lebih baik. Namamu siapa dik?”, Tanya si ayah

“Sana” jawabnya singkat.

“Sekilas namamu seperti anakku, namanya Hanna. Hanna bahkan sama ketusnya sepertimu, tapi sebenarnya dia anak yang ramah dan periang, dia…”, si ayah asik menjelaskan panjang lebar.

Mendengar nama kakaknya, Ia tidak mendengarkan lanjutan cerita pria itu, matanya membelalak kaget, Ia bingung apa yang harus dikatakannya. Sana mengumpulkan keberanian memotong cerita ayah Hanna.

“Pak, saya mengenal kak Hanna, Ia kakak yang kusayangi. Aku bahkan tinggal lama bersama kak Hanna dan orang tua angkatku. Dulu kak Hanna yang membawaku kerumah keluarganya, yang kukira keluarga aslinya. Namun dia pun ternyata bernasib sama denganku”, cerita Sana

“Sekarang anakku ada dimana?”, Tanya si ayah gembira, Ia tidak sabar menemui Hanna lagi

Sana menunduk dan terdiam tanpa jawaban. Kemudian Ia mengangkat kepalanya.

 “Kakak sudah meninggal tahun lalu. Orang tuaku mengatakan penyebab kematiannya dikarenakan penyakit turunan Ibunya”, Sana sudah menangis saat itu.

Sana sudah berjongkok dan menangis terisak di tempat, mengingat memori tentang kakaknya. Sang ayah tak dapat menjawab lagi, matanya merah menahan air matanya. Sang ayah jatuh tersungkur di depan Sana, mengerang merasakan kehilangan teramat sangat, Ia sedih tidak sempat melihat Hanna bahkan dihari terakhirnya. Kini air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi, mengingat tawa lepas dulu ketika masih bersama. Namun waktu tak dapat diputar kembali.

Jagalah perkataan dan perbuatanmu jangan sampai melukai atau bahkan sampai menikam sesamamu. Langkahmu selanjutnya adalah buah hasil dari segala tindakanmu di masa lalu. Namun jangan pernah menghindar atau bahkan menolak takdir, karena waktu terus berputar impas dengan perbuatan yang kamu berikan kepada sesamamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun