Mohon tunggu...
Manuela Serang
Manuela Serang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Halo, Ini Nela😃👋 Seorang Pembelajar✨️ Motivasi : Dare to Dream Big 🤩

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Bushido: Simbol Harkat dan Martabat Masyarakat Jepang

24 September 2022   22:15 Diperbarui: 24 September 2022   22:43 1406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://unsplash.com/photos/zdEfsF41LJE

Jepang merupakan negara yang terletak di Asia Timur dan dikenal sebagai negeri Sakura. Negara yang terkenal akan keindahan bunga Sakura dan kemajuan teknologinya ini memiliki sejuta cerita terutama dari segi historis. Apabila ditinjau dari segi historis, pembabakan sejarah Jepang terdiri dari zaman pra-sejarah, zaman klasik, zaman pertengahan, dan zaman modern. Meskipun tergolong sebagai negara maju, nuansa historis masih terasa kental diberbagai aspek kehidupan masyarakat Jepang. Salah satu nilai historis yang hingga kini masih dipegang teguh adalah semangat bushido.

Berdasarkan elemen kanjinya, maka dapat dipahami bahwa bushido adalah jalan prajurit. Selain itu, bushido juga memiliki arti semangat prajurit. Semangat ini lahir pada Zaman Kamakura dan terus berkembang hingga Zaman Edo. Cikal bakal lahirnya bushido berasal dari Buddhisme Zen dan ajaran Konfusius. Buddhisme Zen dan bushido memiliki keterkaitan karena adanya unsur meditasi yang menjadi alternatif beasiswa formal, ajang pelatihan kedisiplinan fisik, dan media pembentuk karakter pengendalian diri. Bagi para samurai, kedisiplinan dan pengendalian diri merupakan dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari jiwa mereka. Nilai kedisiplinan dan pengendalian diri sangat penting demi menjaga harkat dan martabat mereka sebagai prajurit negara. Hal ini juga mendapatkan pengaruh dari ajaran Neo-Konfusianisme dan Shinto. Ajaran Neo-Konfusianisme mengajarkan betapa pentingnya menjunjung tinggi aturan etika yang ketat, prinsip-prinsip kepatutan atau li, kesetiaan, dan humanisme. Sedangkan Shinto menekankan pada loyalitas terhadap kekaisaran. Pengaruh dari ketiga agama tersebut bermuara pada nilai bakti kepada bangsa dan negara serta etika yang menghasilkan bushido.

Tujuh kode etik dalam semangat bushido terdiri dari gi, yuu, jin, rei, makoto, meiyo,  dan chuugi.  Kode etik tersebut meliputi nilai kebenaran, keberanian, kebaikan, rasa hormat, ketulusan, kehormatan, dan loyalitas. Unsur-unsur moralitas ini turut menjadi pedoman utama samurai dalam mengemban tanggung jawab sebagai garda terdepan pertahanan negara. Adanya kode etik ini membentuk karakter para samurai untuk memprioritaskan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi. Ketika mereka gagal dalam mengemban misi, mereka cenderung memilih untuk mati demi membela negara daripada hidup dengan membawa aib. Hal ini tentu berbeda dengan budaya ksatria di negara Barat. Pembedaan ini didasarkan pada metode perang dan cara berpikir. Para ksatria Barat dapat memilih untuk retreat atau mundur saat berperang. Dapat dikatakan mereka memiliki opsi untuk bertahan dengan memikirkan strategi baru. Cara berpikir ini sangat bertentangan dengan para samurai yang lebih memilih untuk mati daripada mundur saat peperangan berlangsung.

Corak semangat bushido terus berkembang dan telah menyebar luas pada masyarakat Jepang hingga saat ini. Bukti nyata yang mendasari pemikiran ini adalah adanya karakter masyarakat Jepang yang menganggap kelompok adalah hal utama bagi keberlangsungan hidup mereka. Akibatnya, mereka tidak segan untuk mengabaikan kepentingan pribadi demi menyenangkan perasaan kelompok. Contoh nyata implementasi semangat bushido terlihat pada fenomena kigyou senshi. Kigyou senshi merujuk pada istilah company warrior atau pejuang perusahaan. Eksistensi para pejuang perusahaan di Jepang patut diapresiasi karena mereka menjadi cerminan etos kerja masyarakat Jepang yang disiplin dan totalitas dalam bekerja. Selain itu, etika dalam bekerja juga dijunjung tinggi dengan tidak mendahului atasan mereka untuk kembali ke rumah. Etika dan etos kerja masyarakat Jepang memang patut ditiru karena mereka berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan perusahaan. Akan tetapi, tindakan ini juga membawa pengaruh buruk bagi kesehatan jasmani dan psikis pekerja Jepang.

Mengapa dapat dikatakan membawa pengaruh buruk bagi kesehatan jasmani dan psikis para pekerja di Jepang ? hal ini disebabkan oleh rasa stres dan depresi tingkat tinggi yang dialami oleh pekerja Jepang di lingkungan kerja. Kemajuan negara menuntut peningkatan jam kerja demi memenuhi pangsa pasar global. Hal serupa terjadi di negara Jepang. Peningkatan jam kerja di Jepang mengakibatkan terjadinya kasus karoshi. Karoshi merupakan fenomena kematian akibat kelelahan bekerja. Rata-rata pekerja di Jepang dapat menghabiskan waktu bekerja selama dua belas jam hingga delapan belas jam. Tindakan ini diakibatkan oleh mengakarnya semangat bushido dalam diri mereka. Mereka rela mengorbankan jam tidur mereka demi meningkatkan reputasi perusahaan. Tidak jarang kita menemukan adanya berita tentang para pekerja yang tertidur disudut jalan maupun stasiun di Jepang. Semua mereka lakukan sebagai bentuk pengabdian kepada perusahaan. Loyalitas juga membuat mereka dijuluki sebagai budak korporat.

Istilah budak korporat disematkan bagi pekerja Jepang akibat munculnya rasa candu untuk bekerja. Rasa candu untuk bekerja dipicu oleh perspektif ingin menyenangkan hati atasan. Akibatnya, terjadi iklim persaingan kerja yang ketat dalam sektor ekonomi dan bisnis di Jepang. Jika tidak mampu memenuhi ekspetasi perusahaan, para pekerja di Jepang cenderung memilih untuk melakukan jisatsu. Apabila diterjemahkan, kata ini sama artinya dengan tindakan bunuh diri. Tujuan mereka melakukan jisatsu adalah untuk memulihkan nama baik dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan pada saat bekerja. Kesalahan dalam bekerja dapat diartikan sebagai suatu tindakan fatal yang dianggap merugikan perusahaan. Mereka tidak segan melakukan jisatsu agar tidak dipandang sebagai aib oleh masyarakat. Betapa mirisnya ketika membaca dan mendengar fenomena ini kian meningkat akibat tekanan sosial yang dialami oleh para pekerja di Jepang.

Faktanya, implementasi semangat bushido juga terjadi di lingkup pendidikan. Di Jepang, implementasinya terlihat pada nilai kejujuran serta etika dalam belajar. Para pelajar di Jepang senantiasa diajarkan untuk menghormati guru sebagai pihak superior dan tidak menyontek ketika mengerjakan ulangan. Hal ini terlihat dari sistem pendidikan di Jepang yang memberlakukan banyak aturan mengenai atribut seragam, penampilan para siswa, dan perilaku para siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Skema pembelajaran disusun dengan visi membentuk karakteristik pelajar yang berintegritas. Skema ini tertuang di dalam pendidikan karakter yaitu doutoku-kyouiku. Doutoku-kyouiku telah diterapkan di Jepang sejak siswa menduduki bangku sekolah dasar. Pendidikan ini mulai diimplementasikan pada bulan April tahun 2018. Inti utama dari pendidikan karakter ini adalah mewujudkan pribadi yang bermoral dengan harapan siswa menerapkan nilai-nilai moral tersebut untuk meminimalisir perilaku menyimpang (Pearce, 2021). Karakter menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan Jepang dan selaras dengan poin etika para samurai.

Selain itu, semangat bushido juga berlaku dalam tatanan politik pemerintahan Jepang. Salah satu nilai bushido yakni kehormatan. Nilai ini dapat dilihat dari sikap para pejabat pemerintah di Jepang. Ketika para pejabat di Jepang menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan, mereka memilih untuk mundur dari jabatan. Pengunduran diri dianggap sebagai tindakan terhormat karena berani mengutarakan kesalahan dan segera meminta maaf kepada publik. Contohnya adalah pernyataan pengunduran diri oleh Perdana Menteri Shinzo Abe pada tahun 2020 akibat gangguan kesehatan. Beliau menyadari ia tidak mampu bekerja secara maksimal jika memaksakan diri. Para pejabat di Jepang juga tak segan melakukan harakiri apabila tidak mampu menuntaskan tugas dengan baik. Tujuannya adalah untuk menghilangkan beban moral akibat kegagalan. Tindakan ini mengakibatkan fenomena jisatsu atau bunuh diri menjadi hal yang umum di Jepang.

Secara keseluruhan, Bushido mengajak kita untuk menjadi manusia yang berintegritas dan berkarakter. Salah satu ciri manusia berintegritas dan berkarakter adalah berupaya untuk memberikan yang terbaik ketika melakukan pekerjaan besar ataupun kecil. Terlepas dari sisi negatifnya, semangat ala Jepang ini patut ditiru oleh masyarakat Indonesia demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Indonesia dapat maju apabila masyarakat sadar akan pentingnya karakter dan integritas  bagi pembangunan bangsa.

Daftar Pustaka :

Winuantara, A.: 2019. Mentransformasi semangat bushido Jepang ke Dalam Rumah Perubahan BPSDMD NTB. BPSDMD. Diakses tanggal 20 September 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun