Mohon tunggu...
dindin maeludin
dindin maeludin Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di Badan Pusat Statistik

Pituin dari Desa Lumbungsari dan masih aktif sebagai ASN di BPS Kabupaten Ciamis.. ..belajar untuk mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Petani Menang(is) di Negeri Agraris

10 April 2021   11:39 Diperbarui: 10 April 2021   11:50 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang petani mungkin bukan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh generasi penerus bangsa di zaman ini serba modern ini. Sudah bukan pilihan yang menjanjikan lagi. Mereka lebih mengutamakan cita-cita yang nantinya akan menjadikan mereka hidup lebih layak.

Petani bisa dikatakan sebagai tokoh sentral di negara agraris. Tidak bisa dipungkiri keberadaan petani sangatlah dibutuhkan. Jasa mereka dalam memperkuat ketahanan dan kedautalatan pangan negara ini besar sekali. Tidak bisa dibayangkan jika negara agraris seperti ini kekurangan petani.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Tahun 2020 ada sekitar 33,4 juta petani yang bergerak di semua komoditas sektor pertanian. Angka tersebut jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan jumlah petani pada Tahun 2019 yang mencapai 34,58 juta.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi, menyebutkan bahwa petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya berjumlah 2,7 juta orang. Atau hanya sekitar 8 persen dari total petani kita 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial, atau petani yang sudah tua.

Sektor pertanian merupakan salah satu bagian penting dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 mengungkapkan bahwa pertanian satu dari tiga sektor yang tumbuh positif sebesar 16,24% pada periode April-Juni 2020.

Namun apa yang terjadi. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan pandemi yang masih melanda membuat kesusahan petani semakin membelit. Dibulan Juni 2020 lalu, daya beli petani masih rendah. Nilai tukar petani (NTP) masih dibawah 100, artinya harga yang dibayar petani untuk memproduksi hasil pertanian masih jauh lebih tinggi dari yang diterimanya.

Dilemastis, itu lah yang sering dirasakan oleh petani. Terlepas dari statusnya sebagai petani penggarap atau petani pemilik lahan. Bagaimana tidak ditengah harga sebagian komoditas naik justru petani tidak ikut dalam euforia dan menikmati keadaan yang ada. Mereka justru tetap terpuruk dan seolah menerima keadaan yang ada. Tidak bisa berbuat apa-apa.

Apalagi akhir-akhir ini petani semakin menjerit. Dimana harga komoditas hortikultura khususnya cabai rawit merah sedang melambung tinggi dipasaran. Bagaimana tidak usaha yang dirintis sejak dari persemaian hingga akhirnya dipanen petani hanya mendapatkan rupiah sedikit dari jerih payahnya. Jangankan bicara keuntungan, untuk sekedar mengembalikan modal pun dirasa sangat sulit.

Belum lagi isu adanya rencana pemerintah untuk melakukan impor beras. Di saat panen raya sedang berlangsung disebagian wilayah. Hal ini dianggap sangat memberatkan bahkan menyakitkan petani. Menurut Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (ABTTI) wacana impor menjelang masa panen raya ini menjadi pukulan tersendiri bagi petani ditengah harga gabah kering panen (GKP) yang terus turun sejak September 2020.

Tak bisa dipungkiri, memang ada beberapa faktor yang mempengaruhi semua ini. Mulai dari gagal panen yang diakibatkan faktor musim serta adanya serangan organisme penganggu tanaman (OTP). Selain itu yang harus mendapat perhatian adalah memutus rantai pasokan distribusi khususnya komoditas sektor pertanian.

Sudah barang tentu disinilah perlunya peran serta dari pemerintah untuk mensejahterakan petani. Sesuai dengan yang di amanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18/2012 tentang Pangan yang telah memberi amanat ke pemerintah untuk menstabilkan harga pangan demi melindungi pendapatan dan daya beli petani, terlebih pandemi saat ini telah memukul sektor pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun