Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa itu Gratifikasi?

31 Januari 2017   05:20 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:51 4595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walau sudah banyak yang mengulas tentang gratifikasi, tampaknya masih perlu dilakukan sosialisasi mengenai apa itu gratifikasi (Sumber: The Business Times)

Gratifikasi selama ini sering dianggap hanya berupa oleh-oleh, cinderamata, atau uang terima kasih dalam nilai kecil, pemahaman tersebut kurang tepat. 

Gratifikasi sejatinya adalah segala bentuk pemberian, baik bernilai besar maupun bernilai kecil. Gratifikasi memiliki karakterisktik tidak transaksional, sehingga pemberi seolah-olah tidak menginginkan imbal balik apapun dari penerima, padahal pemberian tersebut diberikan karena melihat posisi ataupun jabatan penerima. 

Sebagian ahli menyebut gratifikasi sebagai “investasi”, upaya mencari perhatian, bahkan “suap yang tertunda” kepada pejabat dengan tujuan dapat mempengaruhi kebijakan dalam jangka panjang.

Dalam keseharian bermasyarakat, terdapat beberapa situasi dimana lazim terjadi kegiatan saling memberi dan menerima hadiah. Misalnya pada saat perayaan hari raya, pernikahan, serta momen agama dan budaya lainnya. Para penyelenggara negara dan pegawai negeri diharapkan dapat memahami pemberian yang merupakan gratifikasi dan pemberian yang merupakan bagian dari aktivitas bermasyarakat. Salah satu indikator utamanya adalah adakah keterkaitan antara pemberian dengan jabatan penerima. Sebab jika tidak berhati-hati, penerimaan gratifikasi dapat dijerat pasal 12B UU Tipikor, yakni pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda sebesar Rp. 200 juta hingga Rp. 1 miliar.

Pemidanaan gratifikasi pernah terjadi pada Gayus H Tambunan, seorang pegawai di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pidana gratifikasi digunakan untuk memproses kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara wajar bila dibandingkan dengan penghasilan yang sah. Pegawai negeri sebaiknya menolak pemberian gratifikasi pada kali pertama dengan menjelaskan kepada pemberi bahwa dirinya tidak diperkenankan menerima hal tersebut. Namun jika dalam keadaan tidak dapat menolak, penerimaan tersebut wajib dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja. Dengan demikian pidana penjara dan denda tidak lagi dapat menjerat penerima gratifikasi, karena dengan melaporkannya kepada KPK telah menggugurkan ancaman pidana tersebut. Selanjutnya KPK yang akan menentukan status gratifikasi tersebut menjadi milik negara atau milik penerima.

Upaya mencegah korupsi dapat dimulai dengan mengendalikan gratifikasi. Kegiatan ini dapat membentuk lingkungan pengendalian di instansi, laporan gratifikasi yang disampaikan dapat dijadikan alat untuk mendeteksi kerawanan korupsi dan potensi konflik kepentingan, langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan untuk mengatasi kerawanan korupsi tersebut.

Kegiatan pengendalian gratifikasi di instansi pemerintah telah dilakukan melalui penerapan Sistem Pengendalian Gratifikasi (SPG) yang dirintis oleh KPK. Sistem ini mendukung perwujudan good governance. Sistem ini mendorong instansi mitra untuk menerapkan SPG secara aktif dengan asistensi KPK. Sebagai program yang berkesinambungan, SPG terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yakni menganalisa tingkat kerawanan korupsi, menandatangani komitmen anti-gratifikasi, membuat aturan pengendalian gratifikasi di internal instansi dan mendirikan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), setelah itu secara rutin melaksanakan monitoring dan evaluasi SPG. Kesuksesan pelaksanaan setiap tahapan sangat menentukan tingkat pemahaman gratifikasi pegawai/pejabat di instansi mitra, serta meningkatkan kepatuhan mereka dalam menolak atau melaporkan penerimaan gratifikasi.

Sampai dengan saat ini, terdapat 180 kementerian, lembaga, organisasi pemerintah, termasuk KPK, yang telah menerapkan SPG dalam berbagai tingkat tahapan. Termasuk di dalamnya adalah Kementerian, BUMN, Lembaga Tinggi Negara, dan Pemerintah Daerah. Beberapa instansi yang lebih maju dalam penerapan SPG, telah membentuk UPG sebagai wahana penerusan laporan gratifikasi kepada KPK dan diseminasi informasi tentang gratifikasi kepada seluruh pegawai.

Kegiatan pengendalian gratifikasi merupakan aktivitas yang dinamis, hal ini berarti akan selalu ada hal baru yang dapat menyempurnakan efektivitas kegiatan tersebut. Beberapa perbaikan telah yang dilakukan untuk menutup celah gratifikasi, antara lain menentukan standar batasan nilai gratifikasi yang dilarang diterima oleh penyelenggara negara dan pegawai negeri, meningkatkan perlindungan hukum bagi pelapor gratifikasi serta menguatkan landasan hukum lingkungan pengendalian gratifikasi di institusi pemerintahan.

Sejak tahun 2015, KPK telah melakukan kajian urgensi penyusunan peraturan pemerintah untuk mengurai gratifikasi dari beragam aspek yakni hukum pidana, budaya, keagamaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia. Kajian ini juga bertujuan meletakkan ketentuan tentang pengendalian gratifikasi secara terintegrasi dengan ketentuan disiplin pegawai seperti reward and punishment, sebagai salah satu perangkat dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kajian ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif melalui studi pustaka, wawancara ahli yang memiliki kualifikasi di beberapa bidang. Pertemuan dengan para pakar sebagai narasumber juga telah digelar, antara lain dengan pakar hukum pidana, hukum tata negara, ilmu perundang-undangan, hukum administrasi negara, filsafat hukum, antropologi hukum, budayawan dan pihak lain yang terkait. Dengan adanya peraturan pemerintah tentang gratifikasi ini, nantinya diharapkan agar pegawai negeri, penyelenggara negara, masyarakat, dan pelaku usaha dapat memahami dan menerapkan pengendalian gratifikasi di institusi masing-masing.

Kegiatan pengendalian gratifikasi tidak hanya dilakukan bagi para penyelenggara negara dan pegawai negeri, melainkan juga melibatkan pihak korporasi/swasta. Sebab, keterlibatan sektor swasta pada sejumlah kasus korupsi, seolah menggambarkan fenomena supply dan demand. Dua pihak yang melakukan korupsi tersebut berasal dari sektor publik dan sektor swasta. Faktanya 24 persen pelaku korupsi yang ditindak oleh KPK pada 2015 berasal dari sektor swasta. Statistik tersebut diamini Global Corruption Barometer Survey tahun 2013 dan juga Global Corruption Barometer Research tahun 2016 yang menyebutkan bahwa dalam 4 tahun terakhir, 30-39.9 persen responden di Indonesia menyatakan pernah membayar suap terkait dengan pelayanan publik. Karenanya, pihak swasta juga harus dilibatkan dalam memberantas praktik gratifikasi.

Upaya itu dilakukan KPK dengan melakukan sosialisasi materi pengenalan dan pendalaman isu gratifikasi kepada lebih dari 720 pengusaha sektor sumber daya alam di 24 provinsi. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di kota Medan, Jakarta, Semarang, Gorontalo, Makassar, dan Pontianak, yang diikuti para pengusaha yang bergerak di bidang mineral dan batubara, kelautan, serta kehutanan dan perkebunan. Dari sejumlah kegiatan sosialisasi itu, KPK mendapatkan apresiasi dari para peserta. KPK mencatat harapan pengusaha tentang kesempatan usaha yang setara (same level playing field) dalam berbisnis, dengan asumsi jika aturan mengenai gratifikasi dijalankan secara tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun