Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menafsirkan Makar

2 April 2017   15:51 Diperbarui: 5 April 2017   08:30 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekjen FUI, Muhammad Al Khaththath. (Sumber: Sabit, Tirto.id)

Memang tuduhan makar seringkali menjadi alat untuk melawan orang atau kelompok tertentu yang oleh pemerintah dianggap sebagai ancaman atau musuh. Pasal tersebut pernah digunakan sesuai fungsinya di ranah politik untuk menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan Tragedi 21 Mei 1998. Partai Rakyat Demokratik dituduh memunculkan kegaduhan dan makar dengan tujuan menggulingkan pemerintahan. Maka dari itu, Budiman Sudjatmiko, yang kala itu menjadi Ketua Umum PRD, ditahan bersama rekan-rekan seperjuangannya.

Pasal makar ini mengebiri hak atas kebebasan untuk menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi. Melalui aparatur penegak hukum, pemerintah bisa dengan mudah meredamnya. Jika diteruskan, penerapan pasal ini tentu akan mengurangi keterlibatan warga untuk turut serta mengkritisi dan mengontrol agar tercipta pemerintahan yang bersih KKN.

Makar seharusnya diartikan, sebuah tindakan yang menggunakan kekerasan untuk menggulingkan pemerintahan. Ketakutan kita, ini justru akan membuat orang-orang takut untuk membicarakan ketidakpuasannya pada pemerintah,” ujarnya.

Materi muatan Pasal 107 KUHP juga tergolong represif. Hal itu lantaran mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang. Di sisi lain, menimbulkan terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah yang berkuasa.

Meredam Lawan Politik

Jokowi tadinya banyak didukung oleh aktivis pro-demokrasi karena dianggap tidak akan "main tangkap" para pengkritik. Namun kenyataannya, para pengkritik ditangkapi dengan dugaan makar. Pasal makar pada masa kepemimpinan Jokowi, dijadikan sebagai salah suatu keistimewaan guna memberikan perlindungan yang sangat berlebihan terhadap kepentingan kekuasaan.

Padahal di era Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, banyak pihak yang menginginkan dia dijatuhkan. Namun, karena hal tersebut hanya sebatas penyampaian ekspresi tanpa unsur penyerangan dan kekerasan, maka SBY tak menghantamnya dengan pasal makar.

“Tidak ada yang dijerat pasal makar aktivis-aktivis yang teriak turunkan SBY, gulingkan SBY. Yang ada hanya klarifikasi atau manuver politik tertentu SBY untuk meredam. Tapi tidak menggunakan institusi kekuasaan atau institusi penegak hukum untuk meredakan itu semua,” tuturnya.

Maka dari itu, Alghiffari mengusulkan agar pasal makar dalam KUHP dihapuskan. Sebab pasal tersebut telah ketinggalan zaman (kuno). Negara demokrasi haruslah menghormati prinsip-prinsip supremasi hukum dan HAM. Kalaupun tidak ingin dihapuskan, DPR harus berhati-hati dalam merevisi KUHP, khususnya terkait pasal makar.

“Seharusnya DPR merumuskan pembeda dengan betul-betul, mana yang merupakan makar dengan kekerasan, mana yang hanya sekedar menyampaikan ekspresi, misalnya mengibarkan bendera ataupun berujar hal-hal yang menunjukkan ketidakpuasan pada pemerintah. Itu harus dihapus dari KUHP ketentuan pidana seperti itu. Tapi DPR harus mempertegas bahwa tindakan makar adalah tindakan dengan kekerasan melakukan penyerangan untuk menggulingkan pemerintah,” jelasnya.

Delik makar dalam KUHP memang mengandung unsur dari Undang-Undang subversif. Maka dari itu, jalur lain untuk mengubahnya ialah melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun