Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

20 Maret 2017   07:48 Diperbarui: 20 Maret 2017   22:00 15212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membakar sampah organik sama dengan membakar air. Instalasi pembakaran sampah hanya akan menjadi pembangkit listrik tenaga batubara yang kotor dengan tambahan sampah kota di dalamnya. UU Pengelolaan Sampah No.18 tahun 2008 Pasal 29 ayat 1 (g) menyatakan bahwa dilarang untuk membakar sampah yang tidak layak teknis. Karakteristik sampah Indonesia didominasi oleh sampah organik (67%) dengan kelembaban tinggi, bernilai kalor rendah, dan tidak layak bakar. Membakar sampah yang basah akan membutuhkan BBM atau batubara dalam jumlah yang besar. Saat batubara atau BBM ditambahkan ke dalam tungku pembakar sampah, emisi dan lepasan dari instalasi insinerator berpotensi mengandung racun dan zat­-zat pencemar yang bersifat persisten.

Perlu dipikirkan tentang dampak negatif pengelolaan sampah ini pada generasi masa datang dan generasi sekarang. Peningkatan emisi CO2, lepasan senyawa berbahaya, ancaman krisis sumberdaya alam, dan krisis energi. Perlu juga ada perhatian tentang peningkatan kualitas hidup yang sesuai dengan asas keberlanjutan sebagaimana tertuang pada UU No.18 tahun 2008. Pada UU tersebut dikatakan bahwa pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada generasi yang akan datang. Pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal akan meningkatkan emisi karbon, konsumsi bahan mentah, serta pemborosan energi yang tidak sesuai dengan amanat UU No.18 tahun 2008.

Konversi sampah sebagai sumber daya energi ada pada tingkat terakhir dalam hirarki pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah yang didorong di seluruh dunia saat ini, adalah adalah pengurangan (waste prevention), desain ramah lingkungan (green design), dan daur ulang atau konversi materi dalam kerangka pendekatan zero waste yang mengintegrasikan konsep keberlanjutan produksi dan konsumsi (sustainability). Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang jelas terkait dengan pengelolaan sampah nasional, termasuk prioritas daur ulang sampah menjadi sumberdaya material lainnya, sebelum membuat kebijakan konversi energi di tempat pembuangan akhir.

Pemerintah daerah perlu didorong untuk membuat kebijakan pengurangan timbunan sampah, meningkatkan daur ulang, pengomposan, meningkatkan efektifitas maupun efisiensi pengangkutan sampah, dan memperbaiki pengolahan sampah di TPA. Idealnya harus ada pemilahan sampah, pengolahan sampah organik, dan proses daur ulang sedekat mungkin dengan kawasan sampah. Persentase sampah yang diangkut dan dikelola di TPA, juga harus ditargetkan menurun. Upaya-­upaya di atas sejalan dengan pendekatan zero waste yang dianut di seluruh dunia dan lebih ramah iklim, karena menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) lebih rendah dari praktik yang ada selama ini.

Hasil studi kelayakan di Kota Bandung yang mengatakan bahwa komponen utama sampah di Kota Bandung adalah sampah organik, bukanlah alasan yang tepat untuk pembangunan PLTSa. Sampah organik ini, sebaiknya justru dijadikan sebagai kompos melalui proses composting. Proses composting dapat dilakukan secara sederhana. Saat inipun, pengomposan telah dilakukan warga Bandung, diantaranya di RW 13 Sadang Serang yang telah memberdayakan sekitar 100 kepala keluarga untuk melakukan proses pengomposan sampah organik. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah di pekarangan rumah, untuk tanaman di taman kota, dan perkebunan kayu keras seperti yang dikelola Perhutani. Kompos ini bahkan dapat digunakan untuk lahan pertanian tanaman pangan atau sayuran.

Pengelolaan sampah semestinya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan prinsip 3 R yaitu: reduce, reuse, dan recycle. Prinsip ini telah disepakati dan dilakukan di seluruh dunia. Pertama, reduce dilakukan dengan mengurangi sampah kota. Salah satu cara untuk menguranginya adalah memastikan bahwa sayuran yang dibawa oleh padagang dari luar kota merupakan sayuran yang sudah bersih. Ini dapat dimungkinkan dengan pemberlakuan peraturan daerah, atau minimal dengan peraturan walikota. Dengan cara ini, sampah pasar dapat dikurangi dengan drastis volumenya, sehingga beban masyarakat dan Pemkot berkurang. Kedua, reuse dapat dilakukan dengan pemisahan/pemilihan antara sampah yang bisa digunakan kembali dengan yang tidak. Limbah plastik, lempengan besi, bekas ban, atau karton diusahakan untuk dapat digunakan kembali. Ketiga, recycle dapat dilakukan dengan mendaur ulang limbah sampah. Hal ini tentunya membutuhkan kebijakan yang kreatif dari Pemda, misalnya dengan menggalang partisipasi dan komunitas masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan di kota-kota besar dunia seperti di Seattle, San Francisco, dan Oakland.

Skema manajemen pengelolaan sampah ideal (Sumber: Biocycle.net).
Skema manajemen pengelolaan sampah ideal (Sumber: Biocycle.net).
Pemenuhan energi dari sumber daya baru yang ‘terbarukan’ dari sampah dan biomassa untuk mengatasi krisis energi, berlawanan dengan konsep UU No.18 tahun 2008. UU Pengelolaan Sampah tersebut telah mengatur tentang persoalan sampah dari hulu sampai ke hilir. Sampah atau limbah tidak dapat digolongkan sebagai sumber daya terbarukan. Pemusnahan material yang terjadi di akhir rantai (end of pipe) akan meningkatkan kecepatan aliran arus sampah, peningkatan intensitas eksploitasi bahan tambang serta industri terkait untuk memproduksi material atau barang, yang nantinya akan mengkonsumsi lebih banyak energi daripada yang diproduksi dari the end of pipe.

Untuk mendirikan sebuah PLTSa, sebuah kota harus memiliki track record yang baik selama beberapa tahun dalam mengelola sampah kota. Sayangnya kota yang menjadi tempat pembangunan PLTSa, seperti Bandung, tidak memiliki track record yang baik dalam pengelolaan sampah. Sampah kota hanya diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang merupakan tempat penumpukan sampah dan bukan merupakan sanitary landfill.

Ditinjau dari segi ekonomi, investasi negara untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah paling tinggi dibandingkan dengan investasi pembangkitan energi dari sumber daya lainnya. Harga listrik yang berasal dari pembangkit energi dari sampah yang diproses dengan teknologi kotor ini, bahkan mengalahkan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. Seharusnya, Pemerintah mempertimbangkan pendayagunaan sumber energi terbarukan yang lebih ekonomis, seperti angin dan matahari.

Pendanaan APBN untuk pembangunan PLTSa menunjukkan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan asas keadilan karena bias keberpihakan pada pengusaha besar. Padahal, di daerah-daerah juga sudah ada pelaku usaha yang mengelola sampah dalam skala kecil. Asas keadilan mengharuskan pemerintah memberikan dukungan yang adil kepada semua pelaku usaha maupun masyarakat. Tidak ada dasar yang kuat bahwa pelaku usaha teknologi thermal akan berkontribusi lebih baik dalam pengelolaan sampah dibandingkan dengan pelaku usaha jenis teknologi pengelolaan sampah skala kecil maupun berbagai inisiatif masyarakat. 

Tadinya Presiden sempat mengeluarkan Perpres No.18/2016 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa di 7 kota. Namun, Perpres ini telah digugat oleh 15 individu serta 6 LSM ke Mahkamah Agung dan pada tanggal 2 November 2016, Perpres ini telah dibatalkan. Gugatan ini dikabulkan MA karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun